Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ngelmu, Rasa Ingin Tahu, dan Tulisan Orisinal

24 Oktober 2016   11:38 Diperbarui: 24 Oktober 2016   11:46 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: shiq4.wordpress.com

Lembaga Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta pada September 2016 lalu menerbitkan buku dengan judul yang unik menukik: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku. Ngelmumemproses rangkaian pengalaman hidup menjadi kesadaran ilmu. Bagaimana caranya? Kelakone Kanthi Laku,dengan cara me-lakoni, memproses melalui pengalaman dan pengamalan. Pada kesadaran tertentu, pengalaman hidup itu sendiri melahirkan ilmu.

Buku yang menghimpun kumpulan karya sastra dari beragam wilayah para pelaku ngelmu itu meneguhkan orisinalitas sebuah karya. Dari judul bukunya saja sudah nJogja dan menyiratkan kedalaman makna kawruh. Memang, urusan orisinalitas bukan perkara mudah, namun kita tidak sedang berdebat, apakah mampu sebuah karya mengandung orisinalitas secara murni atau tidak.

Sikap kerja seorang penulis adalah tekun dan setia menjalani proses. Derajat orisinalitas karya tidak datang tiba-tiba. Orisinalitas—seperti “buah” dari proses “fotosintesis” yang dijalani secara teguh, tekun, dan setia. Fotosintesis kerja penulis akan selalu ditentukan tidak terutama pada mengolah bahan-bahan menjadi sebuah tulisan, melainkan pada “akar” proses itu sendiri, yaitu cara berpikir. Bagaimana itu?

Cara berpikir, pola berpikir, sikap berpikir dalam sebuah jarak pandang dan sudut pandang diawali oleh munculnya pertanyaan-pertanyaan. Mengapa pertanyaan? Karena setiap penulis, peneliti, editor, reporter sesungguhnya orang yang memiliki dorongan rasa ingin tahu yang cukup besar. Rasa ingin tahu merupakan awal dari proses menulis.

Tanpa rasa ingin tahu karya yang dihasilkan seakan tidak memiliki nyawa. Karya tersebut telah kehilangan roh yang menghidupinya sejak di awal proses penciptaan. Tanpa rasa ingin tahu kita akan membuang-buang waktu. Memaksakan untuk menulis pun akan terasa hampa. Kita seperti melayang-layang tak tentu arah. Terhuyung-huyung seperti zombie atau mayat hidup.

Kita mungkin bisa menghasilkan sejumlah tulisan, namun karya itu seperti bukan diri kita. Anasir berpikir yang mencerminkan keunikan diri kita hilang. Tulisan kita belum atau tidak orisinil dan otentik.

Inspirasi Kok Ditunggu

Saya sependapat dengan pandangan kita tidak cukup berpangku tangan, menunggu inspirasi datang. Inspirasi, ide, gagasan merupakan akibat dari rangkaian sebab yang diawali oleh pertanyaan. Dari mana datangnya pertanyaan? Dari rasa ingin tahu yang terus menerus dilatih, dipupuk, dan dipelihara—kapan dan dimana saja.

Kita memerlukan seni menggali inspirasi, ide, dan gagasan. Seni bertanya dan mempertanyakan realitas, fakta, keadaan, cuaca, iklim—pokoknya apa saja yang sedang kita hadapi atau yang ditangkap indera. Betapa sangat melimpah bahan-bahan “mentah” yang bisa meletikkan inspirasi menulis. Tumpukan sampah di pasar, jalanan macet, anak rewel setiap hari, air sungai berwarna hitam, asap knalpot kendaraan bermotor, pelajar yang gagap menyampaikan isi pikiran, sepasang sandal jepit kumal—bukankah itu semua adalah nikmat inspirasi yang tak terhitung jumlahnya?

Seberapa sering kita melewati jalan aspal berlobang dan kita tidak bertanya mengapa tidak segera diperbaiki tapi cukup ditulis peringatan: hati-hati jalan berlobang. Seberapa sering kita mampir di kafe yang penuh anak-anak muda, merokok, internetan dan kita tidak bertanya mengapa semakin gencar kampanye bahaya merokok semakin ramai orang buka kafe dan penuh kepulan asap rokok? Seberapa sering kita kecele oleh branding sekolah unggulan, sekolah terpadu, sekolah hijau, sekolah sehari penuh dan kita tidak bertanya mengapa masyarakat cukup mudah percaya, tidak bersikap kritis terhadap kenyataan pendidikan di sekolah tersebut yang kadang menampilkan performa sebaliknya?

Atau tidak perlu jauh-jauh melakukan pengamatan keluar. Kita tatap diri sendiri. Seberapa sering kita membangun pikiran positif dan kita tidak bertanya mengapa semakin kuat kita mengafirmasi diri dengan pikiran positif semakin bertambah pula kecemasan, ketegangan, kegelisahan? Seberapa sering kita menemukan pikiran terasa beku dan kita tidak bertanya mengapa kita tidak peka menangkap peristiwa sederhana tapi sarat makna lalu membiarkannya lewat begitu saja?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun