Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Membaca dan Menulis Masa Lalu untuk Masa Depan

10 Oktober 2016   14:37 Diperbarui: 10 Oktober 2016   15:27 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Tren penurunan buta aksara dari tahun ke tahun sebenarnya terus membaik. Saat ini kita sudah sampai di kilometer terakhir (pemberantasan buta aksara-red), namun sekaligus ini adalah titik yang sulit untuk ditempuh karena faktanya lebih dari 5 juta penduduk ini tersebar dan tercecer di berbagai pelosok," ungkap Harris Iskandar.

Selama ini motivasi belajar yang lemah dituding sebagai penyebab tingginya angka buta huruf di sejumlah daerah. Penggerak literasi pasti tidak menelan klaim tersebut secara mentah. Motivasi belajar dalam hal apa, mengapa, dan bagaimana perlu dipetakan secara jernih. Membangun fasilitas literasi saja tidak cukup. Sebab tidak sedikit fasilitas itu mangkrak dan terbengkalai.

Apa sebab? Sebut saja misalnya Gerakan Kampung Literasi di pelosok dusun seharusnya bukan gerakan yang tiba-tiba datang. Gerakan tersebut dipastikan terlebih dahulu memiliki akar gerakan dan agenda pemberdayaan yang bertitik awal dari watak, karakter, kebutuhan kampung. Untuk itu peran seorang local leader yang sanggup menerjemahkan watak-watuk-wahing penduduk setempat bersama potensi dusun yang dimilikinya sangat diperlukan.

Maka, gerakan literasi bukan gerakan di menara gading. Integrasi lintas sektoral dengan bidang pemberdayaan yang lain mutlak diperlukan. Pada tataran ini peran dan fungsi pemerintah daerah cukup diperlukan untuk menumbuhkan dan memelihara kelangsungan stamina literasi. Menciptakan iklim kreativitas bagi para local leader dengan tidak terlalu mengandalkan formalisme tata kelola birokrasi yang kaku, ribet, dan rumit akan menjadi ruang untuk mengakselerasi program-program literasi dengan program-program pemberdayaan masyarakat lainnya.

Sudah saatnya pemerintah "rendah hati" di hadapan para pengabdi dan penggiat gerakan literasi. Kepedulian para pengabdi adalah investasi masa depan Indonesia. Demikian pula para penggiat literasi bukanlah manusia setengah dewa yang akan menyelesaikan setumpuk persoalan. Akan merasa teduh di hati apabila pemerintah menjadi partner mereka, duduk sama tinggi berdiri sama rendah, karena di zaman “penggandaan uang” ini kita masih memiliki anak muda yang peduli, berjuang, dan melibatkan diri di tengah silang sengkarut upaya pemberdayaan di sudut-sudut terpencil nusantara.

Maka, saya usul tema Hari Aksara Internasional dilengkapi menjadi "Membaca dan Menulis Masa Lalu untuk Masa Depan". []

Jagalan 101016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun