Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Membaca dan Menulis Masa Lalu untuk Masa Depan

10 Oktober 2016   14:37 Diperbarui: 10 Oktober 2016   15:27 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada Jumat, 7 Oktober lalu saya memperoleh kesempatan ikut urun rembuk  dan berbagi pengalaman menulis pada forum Taman Bacaan Masyarakat Jombang. Acara yang digelar oleh TBM Menebar Energi Positif (MEP) dihadiri para pegiat literasi di Kab. Jombang. Kawan-kawan TMB dari Bojonegoro juga hadir dalam acara itu.

Cukup banyak ungkapan inspiratif mencuat di acara tersebut. Yusron Aminullah, pemilik MEP, menyambut baik semangat anak-anak muda penggerak TBM. Berbagi inspirasi dan saling menguatkan sudah menjadi karakter dalam setiap gelaran forum TBM. Hal itu disebabkan oleh semakin kita terlibat di gerakan literasi semakin terbuka pula mata kesadaran bahwa literasi bukan urusan membaca dan menulis saja.   

Hari Aksara Internasional memang sudah lewat pada 8 September 2016 lalu. Namun Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan baru akan menggelar rangkaian acara peringatan Hari Aksara Internasional pada 20 Oktober mendatang di kota Palu, Sulawesi Tengah. Tema yang diangkat adalah "Literasi dan Vokasi untuk Pembangunan Berkelanjutan”.

Menurut Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat Kemdikbud, Harris Iskandar, tema tersebut mengacu pada enam kemampuan literasi yaitu kemampuan baca tulis, berhitung, sains dan teknologi, keuangan, budaya, dan kewarganegaraan. Hal itu selaras dengan Nawacita yang digaungkan pemerintah terkait pembangunan keterampilan hidup atau vokasi masyarakat.

Literasi tidak sebatas kegiatan membaca dan menulis. Taman Bacaan Masyarakat (TBM), Perpustakaan Desa, Perpustakaan Keliling, Kampung Literasi atau pelbagai kegiatan pemberdayaan dan  penyadaran pentingnya membaca dan menulis merupakan titik awal. Selanjutnya kegiatan yang fokus pada literasi itu di tengah perjalanan akan bersentuhan dan terlibat langsung dengan beragam tema hidup.

Bukankah membaca dalam pengertian mendasar adalah juga membaca diri sendiri, membaca alam lingkungan sekitar, membaca potensi dusun, membaca problem di tengah dinamika sosial kemasyarakatan, membaca solusi, membaca masa silam dan masa depan. Ringkas kata, literasi—tak lain adalah membaca sekaligus menulis hidup dan kehidupan.

Lalu antara huruf dan aksara, apakah keduanya memiliki perbedaan filosofis? Apakah konsekuensi filosofis kultural (ini istilah saya sendiri) antara buta huruf dan buta aksara sama? Mengapa disebut Aksara Jawa bukan Huruf Jawa? Mengapa sejak masa kolonial Belanda getol diberantas buta huruf, sementara nenek moyang kita sejatinya sudah sangat melek aksara sesuai bahasa daerah masing-masing? Bagaimana pula dengan para sesepuh desa dan para “profesor spesialis” yang melek “aksara” arah angin, watak tanah, iklim dan cuaca, gelombang laut, yang kita menyebut semua itu sebagai kearifan lokal (hanya lokal?), padahal hal itu mencerminkan keseimbangan universal?  Tidak mengherankan para penduduk di pedalaman hutan lebih melek aksara daripada warga kota besar yang sembrono terhadap eksploitasi lingkungan.

Tema global yang diangkat UNESCO pada Hari Aksara Internasional 2016 adalah Reading The Past, Writing The Future” atau “Membaca Masa Lalu, Menulis Masa Depan”. Dengan demikian gerakan literasi bukan sekadar gerakan membaca dan menulis teks (huruf), melainkan harus berangkat dari akar literasi itu sendiri, yaitu kesadaran tentang aksara yang di dalamnya terkandung akar sejarah, watak, karakter, keseimbangan universal (walaupun diberangkatkan dari skala wilayah lokal) sebuah dusun, desa hingga bangsa dan negara.

Indonesia memiliki 74.095 desa yang tersebar di seluruh nusantara dengan keanekaragaman kekayaan sumber daya alam yang melimpah, baik di sektor pertambangan, pariwisata, pertanian, kehutanan, perkebunan dan lain sebagainya. Gerakan literasi akan menampilkan mozaik warna warni "keaksaraan" sesuai potensi lokal masing-masing desa. Diharapkan penduduk lokal bukan hanya melek huruf—mereka juga melek akar sejarah desa, kearifan mengelola potensi itu, sehingga memahami peta arah masa depan dusun dan desa mereka.

Angka buta huruf di Indonesia memang menurun. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) terjadi penurunan angka buta huruf dari 14,89 juta orang pada 2005 menjadi 5,77 juta orang pada 2015.

Papua menjadi provinsi dengan penduduk tuna aksara yang tertinggi. Berdasarkan data Kemendikbud, penduduk tuna aksara berusia 15-59 tahun di Papua mencapai 28,61 persen. Sementara Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan 10,62 persen, dan Sulawesi Barat di posisi ketiga (7,63 persen).

"Tren penurunan buta aksara dari tahun ke tahun sebenarnya terus membaik. Saat ini kita sudah sampai di kilometer terakhir (pemberantasan buta aksara-red), namun sekaligus ini adalah titik yang sulit untuk ditempuh karena faktanya lebih dari 5 juta penduduk ini tersebar dan tercecer di berbagai pelosok," ungkap Harris Iskandar.

Selama ini motivasi belajar yang lemah dituding sebagai penyebab tingginya angka buta huruf di sejumlah daerah. Penggerak literasi pasti tidak menelan klaim tersebut secara mentah. Motivasi belajar dalam hal apa, mengapa, dan bagaimana perlu dipetakan secara jernih. Membangun fasilitas literasi saja tidak cukup. Sebab tidak sedikit fasilitas itu mangkrak dan terbengkalai.

Apa sebab? Sebut saja misalnya Gerakan Kampung Literasi di pelosok dusun seharusnya bukan gerakan yang tiba-tiba datang. Gerakan tersebut dipastikan terlebih dahulu memiliki akar gerakan dan agenda pemberdayaan yang bertitik awal dari watak, karakter, kebutuhan kampung. Untuk itu peran seorang local leader yang sanggup menerjemahkan watak-watuk-wahing penduduk setempat bersama potensi dusun yang dimilikinya sangat diperlukan.

Maka, gerakan literasi bukan gerakan di menara gading. Integrasi lintas sektoral dengan bidang pemberdayaan yang lain mutlak diperlukan. Pada tataran ini peran dan fungsi pemerintah daerah cukup diperlukan untuk menumbuhkan dan memelihara kelangsungan stamina literasi. Menciptakan iklim kreativitas bagi para local leader dengan tidak terlalu mengandalkan formalisme tata kelola birokrasi yang kaku, ribet, dan rumit akan menjadi ruang untuk mengakselerasi program-program literasi dengan program-program pemberdayaan masyarakat lainnya.

Sudah saatnya pemerintah "rendah hati" di hadapan para pengabdi dan penggiat gerakan literasi. Kepedulian para pengabdi adalah investasi masa depan Indonesia. Demikian pula para penggiat literasi bukanlah manusia setengah dewa yang akan menyelesaikan setumpuk persoalan. Akan merasa teduh di hati apabila pemerintah menjadi partner mereka, duduk sama tinggi berdiri sama rendah, karena di zaman “penggandaan uang” ini kita masih memiliki anak muda yang peduli, berjuang, dan melibatkan diri di tengah silang sengkarut upaya pemberdayaan di sudut-sudut terpencil nusantara.

Maka, saya usul tema Hari Aksara Internasional dilengkapi menjadi "Membaca dan Menulis Masa Lalu untuk Masa Depan". []

Jagalan 101016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun