Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Takdir Setiap Biji Kopi

1 Oktober 2016   23:22 Diperbarui: 2 Oktober 2016   03:40 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melintasi bagian utara kota Jombang pada malam hari, khususnya wilayah sekitar Pasar Citra Niaga hingga ke utara, akan kita jumpai anak-anak muda duduk lesehan. Secangkir kopi menemani obrolan mereka. Warung kopi Giras, salah satu dari sekian banyak warung kopi, tidak pernah sepi. 24 jam silih berganti, Warkop Giras dipadati penggila kopi.

Joko Wande (warung) sebutan anak muda yang gemar nongkrong sambil ngopi di warung kopi. Diantara para Joko Wande itu saya salah satunya. Saya jajal warkop Giras, dan rasa kopinya memang mantab berbeda dibandingkan rasa rata-rata warung kopi. Tapi, semantab apapun racikan kopi tetap tidak mengalahkan racikan kopi isteri sendiri. 

Bagi pecinta kopi, rasa bukan segalanya. Terdapat nuansa rasa, untuk menggambarkan citarasa tak terkatakan, yang berbeda pada setiap jenis kopi. Nuansa rasa kopi itulah yang dirasakan, dicermati, dihayati oleh seorang pecinta kopi. Dahulu zaman saya kluyuran di kota Malang, ada istilah kopi nasgitel: kopi panas legi kentel. Nuansa rasa kopi nasgitel pasti berbeda dengan kopi nasgicer, panas legi encer. Bagi lelaki sejati biasanya cenderung suka kopi naspatel, panas pahit kentel.

Jenis kopi boleh sama, namun perlakuan dan racikan kopi yang berbeda mempengaruhi nuansa rasa. Belum lagi arah mengaduk, searah gerakan thawaf ataukah searah jarum jam, berapa kali putaran, diberi jeda beberapa detik ataukah terus berputar, dan sejumlah “kegaiban” yang lain. "Seduhan untuk espresso-base atau untuk manual brewing, bisa saja mensyaratkan derajat sangrai yang berbeda," ungkap Iwan Juni seorang pelaku industri kopi olahan asal Kabupaten Bener Meriah.

Tidak mengherankan apabila ahli dan pecinta kopi menyatakan setiap biji kopi punya takdir yang berbeda. Takdir sebiji kopi dimulai paska panen. Mengutip nationalgeographic.co.id, meski Gayo merupakan daerah penghasil kopi arabika terbesar di Asia Tenggara, tetapi kopi Gayo bukanlah satu-satunya kopi yang ada di Indonesia. Masih ada berbagai jenis kopi dari Sumatera Utara, Lampung, Toraja, dan Papua dengan varietas yang berbeda. Namun percaya atau tidak, setiap biji kopi ternyata memiliki takdir yang berbeda.

Takdir setiap biji kopi itu, masih menurut Juni dijalankan melalui metode Copdev, yang meliputi Cup, Origin, Proscess, Density dan Equipment serta Varietal yang harus dilakukan seorang roast master sebelum menyangrai kopi. Saya sendiri tidak membayangkan perlakuan takdir setiap biji kopi akan selembut itu. Yang saya tahu dan selama ini saya nikmati, kopi panas disajikan dalam sebuah cangkir kuno untuk menuntaskan takdirnya saya sruput di pagi yang segar.

Berangkat dari kaca mata origin biji kopi, saya percaya Nusantara adalah rumah bagi beragam jenis rasa nuansa kopi. Kopi dari kawasan vulkanik akan berbeda dengan kopi yang berasal dari pinggiran danau. Tantangan seorang roast master adalah memperlakukan setiap biji kopi sesuai sangkan-paran-nya, sehingga menikmati secangkir kopi adalah menikmati sentuhan takdir perjalanan kehidupan.

Dengan demikian, menghayati secangkir kopi adalah menghayati kehidupan—lengkap dengan kesadaran sangkan-paran, teknik, rasa, citarasa, nyawiji, utuh dalam ketunggalan, tunggal dalam keutuhan. Komandan Pasukan Belanda Adrian Van Ommen boleh dinyatakan sebagai pembawa bibit kopi pertama melalui Batavia. Namun kelembutan filosofis sebiji kopi yang bersenyawa dengan kebijaksanaan menjalani hidup yang utuh dan mengutuh, bangsa Nusantara adalah pelakunya.

Dunia pun merasa berhutang pada kelembutan filosofis dan cita rasa kopi Indonesia. Seperti dilansir KOMPAS.com, perhelatan Specialty Coffee Association of America (SCAA) Expo ke-28 di Georgia World Congress Center, Atlanta, Georgia, Amerika Serikat (AS), 14-17 April 2016, menjadi pembuktian betapa Indonesia mendapat tempat khusus di antara pelaku industri kopi spesial dunia. Terlebih dalam ajang tahunan ini Indonesia terpilih menjadi portrait country.

”Dunia sudah lama menikmati kopi-kopi terbaik dari Indonesia. Ini saatnya kami mengapresiasi Anda. Berterima kasih kepada para petani hingga pelaku industri di dalamnya,” kata Bill Carney, Direktur Eksekutif SCAA. Portrait country pantas disandang Indonesia berkat tangan-tangan lembut yang memahami takdir setiap biji kopi. Acara SCAA baru dimulai setelah pemotongan pita bertuliskan “Si Ajaib Indonesia: Rumah Kopi Terbaik Nusantara”.

Sejarah panjang takdir setiap biji kopi tidak bisa dipisahkan dari sejarah panjang bumi Nusantara. Predikat sebagai portrait country” sejatinya sudah disandang Nusantara sejak abad 16Waktu itu Belanda menjadikan bumi Nusantara sebagai ladang kopi arabika terbesar pertama dunia. Pada 1706 kopi-kopi Nusantara dibawa ke Amsterdam untuk diteliti Raja Louis XIV.Hingga pada tahun 1711 VOC melakukan ekspor kopi pertama. Dalam kurun waktu 10 tahun eksport meningkat sampai 60 ton per tahun. Kopi arabika yang diekspor dikenal sebagai Kopi Jawa atau Secangkir Jawa. Sampai abad 19 kopi arabika Nusantara menjadi kopi terbaik dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun