Nyaris yang tinggal di sekolah adalah guru yang patuh, manut, tidak banyak begerak, nyali kecil, mudah dikendalikan oleh kepentingan pimpinan sekolah dan birokrasi. Sedangkan guru generasi millenial yang melimpah potensinya memilih jalur lain seperti mengembangkan pendidikan alternatif, merintis pemberdayaan pendidikan, menjadi edupreneurship.
Pimpinan Sekolah Jangan "Enggan" untuk Berubah
Untuk itu pimpinan sekolah perlu mengenal dan mendalami karakter generasi millenial, mengingat pendidikan adalah lokomotif penggerak peradaban. Selain diharapkan menjadi taman bagi para peserta didik, sekolah hendaknya menjadi “sekolah” bagi para guru, khususnya guru dari generasi millenial, yang bekerja bukan semata menabung kehampaan sekadar menerima gaji tiap bulan.
Pimpinan sekolah hendaknya tidak menyumbat arus perubahan, karena guru generasi millenial merasa tertantang dengan lingkungan kerja yang melibatkan kreativitas dan perubahan. Mereka bukan generai baby boomer yang gemar berstatis ria, jumud, dalam jangka waktu yang lama. Guru generasi millenial akan sangat tertantang untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Apabila pimpinan sekolah menemukan fakta sebaliknya: guru berkinerja liner dan stabil dalam jangka waktu cukup lama, tidak ada gesekan dan pertarungan gagasan, adem ayem, apatis, loyalitas buta, anut-grubyuk, sangat reaksioner ketika kepentingan pribadi mereka dirugikan—fantadhiris sa’ah. Tunggulah arus perubahan yang akan menyeretnya!
Memang, tidak mudah bagi pimpinan sekolah merubah iklim dan karakter kerja para guru yang terlanjur didominasi oleh pola-pola struktural lama. Kalau menghendaki guru millenial berkontribusi secara maksimal di lingkungan sekolah, berikan mereka kebebasan dan kemandirian. Etos kerja yang bebas dan bertanggung jawab sangat disukai oleh generasi digital natives. Kepala sekolah tidak perlu menerapkan micro-management. Cukup berikan ruang bagi mereka untuk merealisasikan gagasannya.
Bebas dan bertanggung jawab, sikap elegan bagi pintu masuk untuk menanamkan kesadaran bahwa menjadi guru bukan sebatas tugas profesional. Menjadi guru bukan mengirim pengetahuan ke dalam otak murid. Menjadi guru bukan sekadar berburu tunjangan profesional seraya memanipulasi data keguruan. Menjadi guru bukan hanya menjadi seorang pekerja di sebuah sekolah yang logika managemennya diatur seperti pabrik kecap.
Generasi millenial cukup terobsesi dengan makna dan nilai dari apa yang mereka tekuni. Menurut Deloitte Millenial Survey 2015, sebagian besar generasi millenial memilih pekerjaan berdasarkan sense of purpose atau tujuan utama suatu pekerjaan dilakukan. Mereka ingin sekali membuat perbedaan dan akan dengan mudah pindah ke perusahaan (atau sekolah) lain yang mampu memberikan makna dalam hidup mereka.
Apa yang harus dilakukan pimpinan sekolah? Menghubungkan penugasan yang diserahkan kepada mereka dengan visi dan misi yang diemban sekolah adalah tantangan yang menggairahkan bagi guru generasi millenial. Mereka menggunakan makna tersebut sebagai motivasi dalam bekerja. Sense of pupose tersebut akan tertanam apabila pimpinan sekolah berhasil menanam benih kepercayaan.
Sudah ketinggalan zaman memaksa guru supaya memiliki integritas dan loyalitas dengan cara-cara purba yang tidak menghargai sense of purpose: iming-iming gaji tinggi, formalisme aturan yang kaku dan berat sebelah, paparan normatif-religius untuk mengelabuhi bahkan memangkas nalar sehat, intrik politik untuk menjaga stabilitas komersialisme sekolah.
Bila itu benar terjadi, saya kok merasa itu bukan sekolah—tapi nafsu belantara kepentingan yang saling membunuh dan meniadakan. Semoga saya salah. []
Jagalan 260916