Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kaya di Tengah Kemiskinan atau Miskin di Tengah Kekayaan?

23 September 2016   19:10 Diperbarui: 25 September 2016   19:44 1162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.dream.co.id

Perilaku para koruptor dan elit politik yang bagai dewa mabuk adalah bahan omong-blek yang tiada pernah habis diomongkan, dirasani, didiskusikan. Setelah saya mencermati obrolan alur tanpa alur dan logika tanpa logika itu, pembicaraan cenderung mengerucut pada sikap orang kaya, terpelajar, status sosial mentereng namun tidak beretika. Menikmati jagongan kelas warung kopi yang menyajikan menu tersebut, sungguh, merupakan ajang refleksi bagi diri kita.

Kaya tapi tidak beretika. Pintar tapi nihil etika. Status sosial kelas atas tapi nir-etika. Kenyataan yang paradoks dan membuat pikiran dan perasaan rakyat kecil semakin gregeten. Sesekali mari kita pasang radar kepekaan bahasa, kepekaan menangkap nuansa dan getaran pembicaraan sesama orang kecil, kepekaan sikap polos dan jujur. Orang kecil, rakyat kecil, masyarakat kelas bawah lebih jujur menilai sikap perilaku mereka sendiri—dan karena itu mereka masih memiliki etika.

Itu kesimpulan sementara saya. Kapan-kapan kita perlu melakukan riset. Namun stereotip bahwa orang miskin cenderung tak jujur dan mencuri lebih kuat. Saya tidak mentah-mentah menelan stereotip itu karena, pertama sesama rakyat kecil sesulit apapun hidup saya, martabat dan harga diri adalah pakaian utama yang tidak boleh ditanggalkan. Kedua, membayangkan diri menjalani hidup sebagai orang kaya yang berkuasa, siapapun bisa melakukannya. Itu naluri hampir setiap manusia. Namun, tidak setiap orang memiliki kesanggupan mengakrabi penderitaan dengan tetap menjaga martabat dan kehormatan diri.

Semua itu terbukti setidaknya menurut hasil studi yang menyatakan orang kaya berkuasa cenderung berperilaku tidak etis. Studi yang mengaitkan antara sosio-ekonomi dan etika menampilkan simpulan cukup mengejutkan. Seiring meningkatnya status dan kekayaan, tendensi untuk berbuat tidak etis cenderung meningkat.

Temuan yang dipublikasikan oleh psikolog Paul Piff dari University of California, Berkeley pada Februari 2012 itu didasarkan pada tujuh ragam eksperimen dalam seting laboratorium dan kehidupan nyata. “Kepemilikan hak istimewa di masyarakat diindikasi membawa dampak psikologi menginsulasi Anda dari orang lain,” ungkang Paul Piff. “Anda jadi kurang merasakan dampak perilaku Anda terhadap orang lain. Sebagai hasilnya, setidaknya dalam karya ilmiah ini, Anda jadi lebih punya kecenderungan untuk melanggar aturan.”

Apa komentar Vladas Griskevicius dari Universicy of Minnesota tentang hasil studi Piff? “Temuan studi ini begitu penting karena bisa menjelaskan betapa orang-orang akan bertindak tidak etis bukan karena mereka putus asa dan hidup terlantar, melainkan karena mereka merasa layak melakukannya dan ingin bisa unggul,” ungkapnya. “Saya begitu terkesima bahwa seluruh temuan bersifat konsisten dari ketujuh studi dengan metodologi yang berbeda-beda. Ini bisa memberikan insight tentang kenapa manusia bersikap curang dan mencuri.”

Dari komentar Griskevicius tersebut kita menemukan insight mengapa manusia bersikap curang dan mencuri, walaupun ia sudah sangat kaya dan hidup di tengah gelimang harta benda. Semakin kaya dan berkuasa, seseorang memperoleh “legitimasi” dan “pembenaran” dari dalam dirinya untuk bersikap curang dan mencuri. Insight yang perlu dijadikan “kaca mata” untuk melihat perilaku kelas menengah atas, pejabat, elit politik, serta pihak yang merasa sedang berkuasa berkat hartanya.

Insight yang cukup gamblang menjawab pertanyaan, mengapa korupsi menemukan “tanah” subur pada mentalitas orang kaya berkuasa di Indonesia, sehingga uang berapapun akan amblas ditelan kerakusan.

Ya, rakus dan tamak, yang menurut Piff, memicu perilaku tidak etis, membuat seseorang berperilaku kurang empatik, dan karena itu menjadikan kekayaan yang digenggamnya akan menciptakan strata. Terjadi keterputusan secara sosial sehingga mereka merasa “saya layak melakukannya.”

Uang pada akhirnya menjadi semacam candu bagi mereka yang kaya berkuasa. Secara psikologis rakus dan tamak terhadap uang menghadirkan perasaan bebas dan berkuasa. Bebas, karena dengan uang yang melimpah mereka bisa membeli apa saja. Berkuasa, karena, lagi-lagi berkat uang, mereka bisa melakukan apa saja. Uang adalah dua sisi keping untuk membeli dan melakukan apa saja. Dalam konteks kebebasan, mereka yang kaya berkuasa, merasa layak melakukan pencurian atau korupsi. Dalam konteks berkuasa, mereka merasa layak melakukan kecurangan.

Akan selalu seperti itukah perilaku orang yang merasa diri besar berkat ditopang oleh kekayaan dan kekuasaan? Tentu jawabnya cukup relatif. Tidak sedikit orang kaya dan berkuasa memiliki nurani dan sikap etis. Namun, temuan Piff tersebut menunjukkan pada kita bahwa orang besar tidak selalu bergantung pada kekayaan dan kekuasaan. Padahal secara diam-diam, kaya dan berkuasa nyaris menjadi cita-cita dan terminal akhir segala ambisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun