Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Siapa Bilang Menangis Tidak Menyenangkan?

22 September 2016   14:05 Diperbarui: 23 September 2016   16:01 725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendengar ucapan lirih-perih itu, wajah Hatta pias. Anak-anak sungai di matanya mulai bermunculan.

"Ya, bagaimana kabarmu, No?" Jawabnya singkat dengan lidah tercekat.

"Hoe at het met jou: Bagaimana keadaanmu?" Suara Sukarno nyaris tak terdengar.

Sejurus kemudian, Sukarno terisak. Bendungan airmata Hatta pun meledak.

Dalam buku "Seeing Through Tears: Crying and Attachment", Judith Kay Nelson, PhD, seorang psikoterapis menulis, menangis kerap dilakukan di dekat orang yang kita anggap dekat. Menangis merupakan emosi yang normal dan sehat.

Jadi, menangislah bila ingin menangis. Tak perlu sungkan, karena menangis justru menunjukkan tingkat ketegaran jiwa. Pada taraf dan kadar tertentu, selain menangis, kita memerlukan situasi yang membawa kita pada sikap menangisi. Menangis cenderung subjektif dan mengarah pada kepentingan “dunia-dalam” diri sendiri. Adapun menangisi, sebagaimana kerap dialami para pejuang kemanusiaan, merupakan ungkapan peduli, prihatin, sedih, gembira, bangga yang tidak tertuju pada diri sendiri, melainkan pada kepentingan dan nasib orang lain, komunitas, sekumpulan massa, warga suatu bangsa. Mirip seorang Ibu yang menangisi “nasib” anaknya.

“Menjeritlah / Menjeritlah selagi bisa / Menangislah / Jika itu dianggap penyelesaian,” teriak Iwan Fals dalam Nyanyian Jiwa. Jika kita terus menangis untuk diri sendiri, kapan saatnya kita menangisi orang lain, menangisi situasi yang menyerimpung akal, menangisi mereka yang miskin dalam kekayaan, menangisi sahabat-sahabat kita yang kaya dalam kemiskinan, menangisi Indonesia?

Hanya menangisi, dengan itu setidaknya jelas kepada siapa hidup kita berpihak.[]

Jagalan 220916

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun