Mendengar ucapan lirih-perih itu, wajah Hatta pias. Anak-anak sungai di matanya mulai bermunculan.
"Ya, bagaimana kabarmu, No?" Jawabnya singkat dengan lidah tercekat.
"Hoe at het met jou: Bagaimana keadaanmu?" Suara Sukarno nyaris tak terdengar.
Sejurus kemudian, Sukarno terisak. Bendungan airmata Hatta pun meledak.
Dalam buku "Seeing Through Tears: Crying and Attachment", Judith Kay Nelson, PhD, seorang psikoterapis menulis, menangis kerap dilakukan di dekat orang yang kita anggap dekat. Menangis merupakan emosi yang normal dan sehat.
Jadi, menangislah bila ingin menangis. Tak perlu sungkan, karena menangis justru menunjukkan tingkat ketegaran jiwa. Pada taraf dan kadar tertentu, selain menangis, kita memerlukan situasi yang membawa kita pada sikap menangisi. Menangis cenderung subjektif dan mengarah pada kepentingan “dunia-dalam” diri sendiri. Adapun menangisi, sebagaimana kerap dialami para pejuang kemanusiaan, merupakan ungkapan peduli, prihatin, sedih, gembira, bangga yang tidak tertuju pada diri sendiri, melainkan pada kepentingan dan nasib orang lain, komunitas, sekumpulan massa, warga suatu bangsa. Mirip seorang Ibu yang menangisi “nasib” anaknya.
“Menjeritlah / Menjeritlah selagi bisa / Menangislah / Jika itu dianggap penyelesaian,” teriak Iwan Fals dalam Nyanyian Jiwa. Jika kita terus menangis untuk diri sendiri, kapan saatnya kita menangisi orang lain, menangisi situasi yang menyerimpung akal, menangisi mereka yang miskin dalam kekayaan, menangisi sahabat-sahabat kita yang kaya dalam kemiskinan, menangisi Indonesia?
Hanya menangisi, dengan itu setidaknya jelas kepada siapa hidup kita berpihak.[]
Jagalan 220916
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H