Mohon maaf pembaca. Saya tidak sedang mengajak kita semua bersedih. Namun perkenankan saya mengajukan pertanyaan, kapan terakhir kali Anda menangis? Sesaat yang lalu, satu jam, dua hari, satu minggu, satu bulan, tiga tahun yang lalu? Atau sudah lupa kapan terakhir mengalirkan airmata?
Tidak perlu malu apalagi gengsi untuk menangis. Menangis tak ubahnya “metabolisme” alamiah, sekaligus pada kondisi dan situasi tertentu, menjadi kebutuhan manusia yang memiliki perasaan. Dalam konteks fisik, air mata yang mengalir berfungsi seperti keringat atau urine yang membersihkan tubuh dari racun. Menangis menjadi aktivitas untuk membersihkan racun-racun yang akan terangkut oleh airmata.
Pada tahun 1957-an ilmuwan menemukan airmata yang keluar karena dorongan emosional memiliki komposisi kimia berbeda dari airmata yang keluar karena iritasi mata. Air mata karena iritasi memiliki lebih banyak protein dan beta-endorfin, salah satu zat penghilang rasa sakit alami yang diproduksi tubuh. Alasan seseorang merasa lebih baik setelah menangis adalah karena airmata mengeluarkan zat-zat kimia yang terbentuk saat ia mengalami tekanan emosional.
Intisari-online.com menulis, sebanyak 85 persen wanita dan 73 persen pria mengakui bahwa rasa marah dan kesedihan akan berkurang setelah menangis. Air mata tidak hanya diproduksi oleh perasaan emosional saja. Air mata juga berfungsi untuk membersihkan dan melumasi mata, yang menyebabkan iritasi mata dan menguap dapat menyebabkan produksi air mata meningkat. Meskipun menghasilkan air mata, namun air mata emosional dan air mata karena iritasi sebenarnya memiliki komposisi kimia yang berbeda.
Mengapa perempuan menangis jumlahnya lebih banyak daripada pria? Riset terbaru dari Lauren Bylsma, PhD, dari University of Pittsburgh yang dimuat Journal of Research in Personality pada 2011 memiliki jawaban. Tubuh perempuan secara biologis memiliki jumlah hormon prolaktin lebih tinggi daripada pria. Ahli biokimia, William Frey H. dan timnya menganilisis wanita dewasa cenderung memiliki kadar prolaktin serum hampir 60 persen di atas rata-rata dari pria. Perbedaan ini secara keseluruhan menjelaskan mengapa wanita lebih sering menangis, seperti dikutip KOMPAS.com dari Shine. Kandungan prolaktin ditemukan dalam airmata emosional, hormon yang diproduksi oleh kelenjar hipofisis yang berhubungan dengan emosi.
Di tengah tekanan hidup kaum urban yang mengalami burnout alias lelah berlebihan akibat kehidupan modern yang melemparkan manusia ke padang tandus beban fisik, mental, dan spiritual, menangis menjadi “barang” mewah yang jarang ditemukan. Entah disebabkan malu, gengsi, orang kok “baper”, tidak ada waktu untuk menangis, atau sejumlah halangan psikologis lainnya, kenyataannya setiap kali habis menangis perasaan seseorang merasa lebih lega. Dikaitkan dengan tekanan stres yang makin menindih kehidupan, manusia modern memerlukan lebih banyak airmata emosional.
Memang, menangis tidak selalu berhubungan dengan tekanan hidup atau kesedihan. Menangis bukan hanya respon tubuh terhadap rasa sedih dan frustasi. Menangis itu sehat.
Masih ingat James Gregory sahabat Nelson Mandela? Ketika apartheid mulai runtuh, Gregory mengawal Mandela bertemu dengan Presiden Afrika Selatan, dan pertemua itu menjurus pada pembebasan Mandela. Hingga akhirnya Mandela bebas pada tahu 1990, Gregory bersamanya. Mereka berangkulan sebelum berpisah. Mandela menyelipkan sebuah surat ke dalam saku Gregory: “Saat-saat indah yang telah kita habiskan bersama selama dua dekade berakhir hari ini. Engkau akan selalu berada dalam ingatanku.”
Mandela berjalan melewati gerbang penjara lalu melambaikan tangan sebagai salam kepada kerumunan orang yang menyambutnya, Gregory menangis menyaksikan itu semua. Detail lukisan perasaan macam apa yang tergambar dalam perasaan, hingga airmata pun tumpah, hanya Gregory yang tahu. Faktanya, ia menangis.
Airmata pun tumpah dari mata Soekarno, dua hari sebelum sang Pemimpin Besar Revolusi menuntaskan hidupnya, saat Hatta mengunjunginya. Diceritakan cukup apik oleh Ren Muhammad, pertemuan dua sahabat itu, dalam tulisan Air Mata di Sekitar Kematian Soekarno.
"Hatta..., kau di sini rupanya."
Mendengar ucapan lirih-perih itu, wajah Hatta pias. Anak-anak sungai di matanya mulai bermunculan.
"Ya, bagaimana kabarmu, No?" Jawabnya singkat dengan lidah tercekat.
"Hoe at het met jou: Bagaimana keadaanmu?" Suara Sukarno nyaris tak terdengar.
Sejurus kemudian, Sukarno terisak. Bendungan airmata Hatta pun meledak.
Dalam buku "Seeing Through Tears: Crying and Attachment", Judith Kay Nelson, PhD, seorang psikoterapis menulis, menangis kerap dilakukan di dekat orang yang kita anggap dekat. Menangis merupakan emosi yang normal dan sehat.
Jadi, menangislah bila ingin menangis. Tak perlu sungkan, karena menangis justru menunjukkan tingkat ketegaran jiwa. Pada taraf dan kadar tertentu, selain menangis, kita memerlukan situasi yang membawa kita pada sikap menangisi. Menangis cenderung subjektif dan mengarah pada kepentingan “dunia-dalam” diri sendiri. Adapun menangisi, sebagaimana kerap dialami para pejuang kemanusiaan, merupakan ungkapan peduli, prihatin, sedih, gembira, bangga yang tidak tertuju pada diri sendiri, melainkan pada kepentingan dan nasib orang lain, komunitas, sekumpulan massa, warga suatu bangsa. Mirip seorang Ibu yang menangisi “nasib” anaknya.
“Menjeritlah / Menjeritlah selagi bisa / Menangislah / Jika itu dianggap penyelesaian,” teriak Iwan Fals dalam Nyanyian Jiwa. Jika kita terus menangis untuk diri sendiri, kapan saatnya kita menangisi orang lain, menangisi situasi yang menyerimpung akal, menangisi mereka yang miskin dalam kekayaan, menangisi sahabat-sahabat kita yang kaya dalam kemiskinan, menangisi Indonesia?
Hanya menangisi, dengan itu setidaknya jelas kepada siapa hidup kita berpihak.[]
Jagalan 220916
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H