Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Manusia Indonesia: Damai Tidak Bergantung Pemerintah

22 September 2016   01:37 Diperbarui: 22 September 2016   01:51 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sedangkan kita tahu krisis sosial merupakan benih yang selalu tertanam di setiap tanah dimana manusia terlibat relasi dan komunikasi. Meniadakan sama sekali krisis sosial sama halnya mengakhiri kehidupan. Krisis itu akan ada, selalu ada, dan akan selalu ada, hadir di tengah-tengah hidup manusia. Maka, Galtung menyarankan, pemecahan masalah pada tingkat tertinggi adalah masing-masing pihak-konflik melakukan pertukaran empati dan menciptakan kesepakatan yang merupakan jawaban dari muatan kepentingan dari relasi krisis sosial. Kita menyebutnya musyawarah secara kekeluargaan.

Semakin gamblang, puncak peradaban adalah hidup damai, damai secara positive peace: benih konflik yang muncul diselesaikan secara musyawarah kekeluargaan.

Itu semua pengertian secara konseptual. Bagaimana praktek faktualnya? Dalam catatan Indeks Perdamaian Global (Global Peace Index 2016) Indonesia menempati urutan ke-42 dari total 163 negara yang dinilai. Indonesia mendapat nilai sebesar 1.799 dan berada dalam posisi “hijau”. Artinya, Indonesia adalah negara “lumayan” damai, bahkan ketika dibandingkan dengan Perancis pada posisi 46 dan Britania Raya posisi 47. KOMPAS.com mencatat, untuk “kelas” Asia Tenggara, Indonesia kalah dengan Singapura yang menempati posisi ke-20 dan Malaysia peringkat ke-30.

Dalam posisi “hijau” itu, apakah perdamaian di Indonesia benar-benar dalam lampu "hijau"? Terdapat pilihan “angle” tak terhingga untuk memotret “obyek” perdamaian di Indonesia. Dalam hal ini kita memakai angle secara umum saja. Untuk itu kita memerlukan mafhum mukholafah atau pengertian terbalik, yaitu kekerasan. 

Masih menurut Galtung, kekerasan terbagi menjadi tiga, yakni kekerasan langsung, kekerasan struktural, dan kekerasan kultural (Galtung, 2003 & Jamil Salmi, 1993). Kekerasan langsung merupakan setiap tindakan yang mengganggu fisik dan jiwa, seperti perang, pemukulan, pencideraan fisik, genocida, holocaust, pemerkosaan, penyiksaan, pengusiran paksa (ada korban dan pelaku langsung). Kekerasan struktural merupakan kekerasan tidak langsung. Tindakan yang membahayakan tetapi tidak melibatkan hubungan langsung antara korban dan pelaku, yang disebabkan oleh ketimpangan sosial dalam sebuah struktur. Kekerasan kultural merupakan kekerasan simbolis (agama, ideologi, bahasa, media, seni, ilmu pengetahuan, pendidikan, hukum / pranata sosial) yang melegitimasi kekerasan langsung dan kekerasan struktural.

Dari ketiga macam kekerasan tersebut, apakah Indonesia sudah lumayan damai, belum damai, atau sama sekali tidak damai?

Mengutip bps.go.id, pada bulan Maret 2015, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 28,59 juta orang (11,22 persen), bertambah sebesar 0,86 juta orang dibandingkan dengan kondisi September 2014 yang sebesar 27,73 juta orang (10,96 persen). Indonesia juga memiliki angka koefisien Gini sebesar 0,41, yang berarti, negara ini memiliki tingkat ketimpangan kesejahteraan cukup tinggi. Selain angka koefisien Gini Indonesia tercatat naik, Bank Dunia pun melaporkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya dinikmati oleh 20 persen golongan masyarakat terkaya.

Yang memprihatinkan, konsumsi per orang kelompok 10 persen orang kaya Indonesia meningkat 6 persen per tahun selama kurun 2003-2010. Sedangkan konsumsi kelompok 40 persen orang miskin cuma tumbuh kurang 2 persen per tahun. Alhasil, jumlah orang miskin sejak tahun 2002 hingga tahun lalu cuma berkurang 2 persen. Kelompok miskin ini yang belanja bulanannya di bawah Rp 300 ribu per orang, ungkap katadata.co.id.

Tiba-tiba saya teringat nasehat Mbah Markesot tentang Kepemimpinan Sarung Nglemprek. “Tata kebangsaan dan kenegaraan dijahit tidak menjadi baju dengan kejelasan lengan tangan, kerah leher dan bilahan kancingnya. Melainkan seperti sarung nglemprek, tidak ada disainnya dan bisa diubah-ubah konstruksi dan tonjolan-tonjolannyakapan saja,” ungkap Mbah Markesot (Daur 232).

Mengapa ingatan saya langsung tertuju pada nasehat itu? Karena kekerasan struktural lahir atau (sengaja) dilahirkan oleh ketiadaan ilmu yang jelas tentang tata Negara, Pemerintah, Undang-Undang, dan sejumlah aturan main. Tidak jelas peran dan fungsi antara Negara dan Pemerintah. Tidak jelas pula peran dan fungsi antara Kepala Keluarga dan Kepala Rumah Tangga. Akibat ketidakjelasan itu, sejumlah kekerasan, baik macam maupun levelnya, cenderung meningkat. Artinya, kehidupan rakyat Indonesia yang berada dalam tata kelola kenegaraan dan kepemerintahan belum sepenuhnya pada posisi “lampu hijau”. Bukankah “peradaban korupsi” sudah cukup melemparkan Indonesia pada ruangan yang lampunya merah?

Dalam situasi seperti itu menciptakan perdamaian tidak lagi dan jangan bergantung—apalagi  berharap—kepada pemerintah. Rakyat Indonesia adalah manusia paling tangguh. Hari ini dapat rezeki Rp. 150.000 mereka bilang, “Alhamdulillaah cukup untuk belanja.” Dapat Rp. 100.000, “Yaa, masih cukuplah!” Dapat Rp. 50.000, “Yaa, dicukup-cukupkan!” Dapat Rp. 25.000, “Harus cukup!” Dapat Rp. 5.000, “Aslinya ya ndak cukup. Tapi, Gusti Pengeran sugih…!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun