Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Manusia Indonesia: Damai Tidak Bergantung Pemerintah

22 September 2016   01:37 Diperbarui: 22 September 2016   01:51 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oh ya andaikata dunia tak punya tentara

Tentu tak ada perang yang banyak makan biaya

Oh ya andai kata dana perang buat diriku

Tentu kau mau singgah bukan cuma tersenyum

(Lirik Pesawat Tempur, Iwan Fals)

Adalah Kofi Anna, mantan Sekretaris Jenderal PBB era 1997-2006 yang meremiskan 21 September sebagai Hari Perdamaian Internasional (International Day of Peace). Menurut catatan Wikipedia, peringatan ini didedikasikan demi perdamaian dunia, dan secara khusus demi berakhirnya perang dan kekerasan, misalnya yang mungkin disebabkan oleh suatu gencatan senjata sementara di zona pertempuran untuk akses bantuan kemanusiaan.

Dunia tanpa konflik, dunia tanpa perang, mungkinkah? Dalam laporan Global Peace Index 2016 kita menemukan biaya perang sepanjang tahun lalu mencapai lebih dari US $ 13,6 triliun atau sekitar 13 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) global. Perkiraan biaya perang tersebut dihitung dari pengeluaran militer, kerusakan akibat konflik, kerugian dari kejahatan, dan kekerasan interpersonal. Oh ya andaikata dana perang itu buat diriku

Mencermati biaya perang yang mencapai 13 persen dari PDB global tersebut, kerugian total akibat konflik berkepanjangan, hancurnya peradaban manusia di wilayah konflik, runtuhnya martabat kemanusiaan, kita jadi terusik untuk bertanya dan mempertanyakan apa wujud sebuah perdamaian, bagaimana imajinasi kita tentang perdamaian, apa standar hidup manusia sehingga layak disebut damai?

Satu hal yang pasti, dan semoga kita sepakat: damai bukan sebatas tidak ada peperangan. Memang, pada wilayah yang terlibat konflik, perdamaian adalah menghentikan perang. Selesai. Menjadi sulit dan mustahil mengentikan perang karena porsi belanja untuk keamanan lebih besar dibandingkan dengan upaya global untuk membangun dan memelihara perdamaian. Bagi pihak tertentu perang adalah sebuah “keuntungan” besar.

Apabila perdamaian diartikan tidak adanya konflik peperangan, menurut Johan Galtung, hal itu merupakan bentuk negative peace. Tidak ada perang, tidak ada kontak senjata, tidak ada kerugian yang terjadi pada lazimnya peperangan, tidak ada kekerasan fisik. Apabila perdamaian dalam bentuk negative peace yang dikehendaki, alangkah “purba” peradaban manusia.

Sedangkan perdamaian bukan keadaan damai secara “fisik” belaka, perdamaian yang disebut Galtung sebagai positive peace. Bagaimana itu? Relasi sosial benar-benar bebas dari krisis dan tekanan, yang keduanya merupakan “benih” yang bisa tumbuh lantas berbuah kekerasan dan peperangan. Bebas dari krisis dan tekanan saat setiap individu yang terlibat dalam relasi sosial dapat memaksimalkan dan mengekspresikan potensi dirinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun