Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anak, Titipan atau Pinjaman?

19 September 2016   21:54 Diperbarui: 19 September 2016   22:11 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: https://www.ngopy.com/

Pertama-tama, saya mohon maaf dengan judul di atas. Permohonan maaf ini semata karena kekurangan saya memilih ungkapan bahasa di tengah kecenderungan masyarakat yang gampang terjebak dalam sikap berpikir konotatif. Supaya tidak terjadi paham yang salah, wajib bagi saya memaparkan terlebih dahulu bahwa judul di atas tidak terutama memperlakukan anak sebagai barang, benda, atau sesuatu yang lain di luar manusia.

Titipan dan pinjaman yang dipakai dalam “view” tulisan ini benar-benar bermakna denotatif, tanpa keinginan mengikis segala dimensi kemakhlukan anak sebagai manusia ciptaan Tuhan. Adapun di tengah perjalanan tulisan ini saya menganalogikan anak dengan benda atau barang tertentu, itu hanya kebutuhan teknis untuk memudahkan pemahaman saja.

Baiklah. Ini semua gara-gara dan seperti biasanya, saya menjadi "tong sampah" bagi beberapa kawan yang sedang mengalami bundelan-bundelan. Kali ini bundelan tentang anak. Kawan saya merasa nyerah dan tidak sanggup lagi memacu prestasi akademik anaknya, yang kini duduk di kelas 5 sekolah dasar. Kegagalan itu memicu kecemasan terhadap nasib masa depan anaknya kelak.

Cemas, jangan-jangan anaknya tidak diterima di SMP favorit. Kalau tidak belajar di SMP favorit, lebih sulit lagi diterima di SMA favorit. Kalau tidak belajar di SMA di favorit, bisa dipastikan kesempatan diterima di PTN favorit menjadi lebih kecil. Dan inilah musibah, yang menurut kawan saya, awal dari kegagalan nasib masa depan anak. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana sang anak menjalani hidup tanpa bekal pendidikan dari PTN favorit, tanpa pekerjaan, tanpa gaji yang memadai, tanpa status terhormat di masyarakat.

Status sosial kawan saya di mata masyarakat juga menjadi pemicu kecemasan itu. Ia tidak ingin memiliki anak yang gagal. Sebagai seorang pendidik yang digaji pemerintah, ia perlu memastikan masa depan cemerlang anaknya harus ditata sejak sekarang.

Demi dan atas nama masa depan anak, kawan saya menguasai hidup anaknya menit per menit, jam per jam, hingga terakumulasi menjadi satuan minggu, bulan, dan tahun. Menguasai dalam arti yang sebenar-benar menguasai: mengarahkan, memilihkan, menuntun, memaksakan, menutup pilihan-pilihan. Saya katakan padanya, “Kamu seperti menjadi tuhan bagi anakmu.” Ia hanya tertawa lebar.

“Menjadi tuhan bagaimana?”

“Kekuasaanmu pada anak seperti kekuasaan Tuhan pada hamba-Nya.”

“Ah, kamu berlebih-lebihan memandang persoalan yang sudah sewajarnya dilakukan setiap orangtua.”

“Setiap orangtua? Apakah setiap orangtua akan selalu menjadi tuhan bagi anak-anaknya?”

“Bukankah setiap orangtua mendambakan anak-anaknya sukses dan berhasil?”

“Mendambakan sukses masa depan, apakah harus dirintis dengan menjadi tuhan bagi anak-anak?”

Kawan saya terdiam. Hening sejenak itu saya gunakan untuk menegaskan pertanyaan. “Mengapa ambisimu melebihi ambisi anakmu? Tidakkah kamu melakukan sawang-sinawang, melihat dari posisi anakmu bahwa dia juga memiliki keinginan, ambisi, harapan, cita-cita walaupun dalam rentang waktu tidak sevisioner mata pandangmu sebagai orang dewasa? Tidakkah kamu menyelami bahwa Tuhan sesungguhnya punya maksud terhadap hidup anakmu?”

Pertanyaan terakhir itu membawa saya pada pilihan diksi yang lebih sederhana: anakmu, titipan ataukah pinjaman?

Selama ini kita terkurung oleh pandangan umum yang kerap menyatakan anak adalah titipan. Siapa yang menitipkan? Siapa yang dititipi? Yang menitipkan pasti Tuhan. Kita, para orangtua, dititipi anak oleh Tuhan. Apakah Tuhan merasa butuh menitipkan anak tersebut kepada kita, sebagaimana kita butuh menitipkan tas berisi uang jutaan rupiah kepada teman sebelum masuk ke kamar mandi? Ini logika sederhana saja. Sedangkan Tuhan sama sekali tidak butuh dan tidak membutuhkan apapun dari makhluk-Nya.

Anak adalah titipan rasanya seperti “ngenyek” Tuhan. Padahal dikaruniai anak adalah dambaan setiap orangtua. Kita, para orangtua, membutuhkan anugerah berupa anak. Maka, Tuhan sebagai Pemilik Kehidupan meminjamkan seorang anak kepada kita. Sebagai pihak yang meminjami, Tuhan tidak terikat dengan kepentingan apapun. Justru pihak yang dipinjami harus bertanggung jawab terhadap sesuatu yang dipinjamkan itu.

Maka, anak adalah pinjaman dari Tuhan kepada para orangtua. Apa saja yang terkait dengan anak, ditentukan oleh yang meminjami, bukan oleh yang dipinjami. Itulah mengapa saya katakan kepada kawan saya, ia seperti menjadi tuhan bagi anaknya. Sebagai pihak yang dipinjami, kawan saya memperlakukan anaknya seperti Tuhan yang meminjami.

Tepat sekali ungkapan yang menyatakan anakmu bukan ambisimu. Karena siapapun, orangtua, guru, lembaga pendidikan, sekolah, ustadz, menteri pendidikan, pemerintah harus terutama memperhatikan dan mematuhi ketentuan Yang Maha Meminjamkan.

Dalam lingkup yang lebih sempit, orangtua dan guru harus lebih rajin belajar apa kehendak Yang Maha Meminjamkan anak. Ketekunan, kesabaran, ketelatenan, kejelian membaca setiap perilaku dan ekspresi anak merupakan upaya belajar dan mempelajari anak secara terus menerus untuk menyingkap jawaban, apa maksud dan tujuan Yang Maha Meminjamkan atas diri dan kehidupan anak. Stamina belajar orangtua dan guru harus lebih panjang dari anak itu sendiri. Lebih-lebih, anak-anak diciptakan Tuhan dengan proyeksi kehidupan masa depan yang tak terbayangkan oleh orangtua dan guru.

Menjadi jelas bagi kita, anak-anak berkembang dan menampilkan kecenderungan fitrah dan bakat tidak atas dasar cita-cita atau kemauan orangtua dan guru, bahkan tidak pula diri anak sendiri. Bahkan hingga dewasa kita masih gelagapan juga menjawab pertanyaan, misalnya mengapa kita suka menulis? Rasa suka menulis itu seperti “tahu-tahu” sudah tertanam secara laten dalam diri kita, sebagaimana “tahu-tahu” seseorang yang lain suka melukis, suka berpetualang, suka bermain musik, suka berfilsafat.

Rencana Tuhan atas kehidupan anak terdeteksi dari benih yang “tahu-tahu” sudah tertanam secara laten itu. Rencana Tuhan itulah mata pelajaran paling penting bagi orangtua dan guru. Mata pelajaran tentang “kenyataan” pada diri anak, seluruh faktor alamiah, kondisi minat dan bakat, kekuatan imajinasi, kadar akal pikiran, serta sejumlah dimensi dan lipatan-lipatan kemanusiaan lainnya.

Kalau kita terpaksa berambisi terhadap anak, maka ambisi itu perlu disesuaikan, disejalankan, diselaraskan, “di-klik-kan” dengan kehendak Tuhan sebagai Pemilik dan Yang Maha Meminjami. Menomorsatukan ambisi pribadi sebagai orangtua akan berujung pada tragedi. Stres, depresi, masa depan suram, jati diri anak hilang, kabur personalitas passion-nya. Keprihatinan dan kegetiran tentang itu semua sudah seringkali saya tulis.

Alangkah bahagia saat anak menjalani proses belajar dengan bimbingan guru atau orangtua yang memahami, menemani, mendampingi, mengasuh, mengarahkan, dalam kegairahan menggapai cita-cita harapan yang nge-klik dengan visi misi Tuhan atas penciptaan sang anak. Bukan sebaliknya, menjadi penguasa atas diri anak dengan memaksakan sejumlah menu pelajaran, jadwal les privat, ranking akademik, klasifikasi unggulan dan non-unggulan.

Biarkan anak-anak menemukan dirinya di setiap aktivitas yang dia tekuni, karena Tuhan memiliki maksud, punya visi dan misi atas kelahiran anak-anak itu di dunia.[]

Jagalan 190916

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun