“Mendambakan sukses masa depan, apakah harus dirintis dengan menjadi tuhan bagi anak-anak?”
Kawan saya terdiam. Hening sejenak itu saya gunakan untuk menegaskan pertanyaan. “Mengapa ambisimu melebihi ambisi anakmu? Tidakkah kamu melakukan sawang-sinawang, melihat dari posisi anakmu bahwa dia juga memiliki keinginan, ambisi, harapan, cita-cita walaupun dalam rentang waktu tidak sevisioner mata pandangmu sebagai orang dewasa? Tidakkah kamu menyelami bahwa Tuhan sesungguhnya punya maksud terhadap hidup anakmu?”
Pertanyaan terakhir itu membawa saya pada pilihan diksi yang lebih sederhana: anakmu, titipan ataukah pinjaman?
Selama ini kita terkurung oleh pandangan umum yang kerap menyatakan anak adalah titipan. Siapa yang menitipkan? Siapa yang dititipi? Yang menitipkan pasti Tuhan. Kita, para orangtua, dititipi anak oleh Tuhan. Apakah Tuhan merasa butuh menitipkan anak tersebut kepada kita, sebagaimana kita butuh menitipkan tas berisi uang jutaan rupiah kepada teman sebelum masuk ke kamar mandi? Ini logika sederhana saja. Sedangkan Tuhan sama sekali tidak butuh dan tidak membutuhkan apapun dari makhluk-Nya.
Anak adalah titipan rasanya seperti “ngenyek” Tuhan. Padahal dikaruniai anak adalah dambaan setiap orangtua. Kita, para orangtua, membutuhkan anugerah berupa anak. Maka, Tuhan sebagai Pemilik Kehidupan meminjamkan seorang anak kepada kita. Sebagai pihak yang meminjami, Tuhan tidak terikat dengan kepentingan apapun. Justru pihak yang dipinjami harus bertanggung jawab terhadap sesuatu yang dipinjamkan itu.
Maka, anak adalah pinjaman dari Tuhan kepada para orangtua. Apa saja yang terkait dengan anak, ditentukan oleh yang meminjami, bukan oleh yang dipinjami. Itulah mengapa saya katakan kepada kawan saya, ia seperti menjadi tuhan bagi anaknya. Sebagai pihak yang dipinjami, kawan saya memperlakukan anaknya seperti Tuhan yang meminjami.
Tepat sekali ungkapan yang menyatakan anakmu bukan ambisimu. Karena siapapun, orangtua, guru, lembaga pendidikan, sekolah, ustadz, menteri pendidikan, pemerintah harus terutama memperhatikan dan mematuhi ketentuan Yang Maha Meminjamkan.
Dalam lingkup yang lebih sempit, orangtua dan guru harus lebih rajin belajar apa kehendak Yang Maha Meminjamkan anak. Ketekunan, kesabaran, ketelatenan, kejelian membaca setiap perilaku dan ekspresi anak merupakan upaya belajar dan mempelajari anak secara terus menerus untuk menyingkap jawaban, apa maksud dan tujuan Yang Maha Meminjamkan atas diri dan kehidupan anak. Stamina belajar orangtua dan guru harus lebih panjang dari anak itu sendiri. Lebih-lebih, anak-anak diciptakan Tuhan dengan proyeksi kehidupan masa depan yang tak terbayangkan oleh orangtua dan guru.
Menjadi jelas bagi kita, anak-anak berkembang dan menampilkan kecenderungan fitrah dan bakat tidak atas dasar cita-cita atau kemauan orangtua dan guru, bahkan tidak pula diri anak sendiri. Bahkan hingga dewasa kita masih gelagapan juga menjawab pertanyaan, misalnya mengapa kita suka menulis? Rasa suka menulis itu seperti “tahu-tahu” sudah tertanam secara laten dalam diri kita, sebagaimana “tahu-tahu” seseorang yang lain suka melukis, suka berpetualang, suka bermain musik, suka berfilsafat.
Rencana Tuhan atas kehidupan anak terdeteksi dari benih yang “tahu-tahu” sudah tertanam secara laten itu. Rencana Tuhan itulah mata pelajaran paling penting bagi orangtua dan guru. Mata pelajaran tentang “kenyataan” pada diri anak, seluruh faktor alamiah, kondisi minat dan bakat, kekuatan imajinasi, kadar akal pikiran, serta sejumlah dimensi dan lipatan-lipatan kemanusiaan lainnya.
Kalau kita terpaksa berambisi terhadap anak, maka ambisi itu perlu disesuaikan, disejalankan, diselaraskan, “di-klik-kan” dengan kehendak Tuhan sebagai Pemilik dan Yang Maha Meminjami. Menomorsatukan ambisi pribadi sebagai orangtua akan berujung pada tragedi. Stres, depresi, masa depan suram, jati diri anak hilang, kabur personalitas passion-nya. Keprihatinan dan kegetiran tentang itu semua sudah seringkali saya tulis.