Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Yang Terkurung dan yang Terpasung

18 September 2016   17:52 Diperbarui: 18 September 2016   18:12 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mari kita berhitung. Dengan penduduk sekitar 250 juta jiwa Indonesia hanya memiliki 600 hingga 800 psikiater. Artinya, satu orang psikiater menangani 300.000 hingga 400.000 orang di 48 rumah sakit jiwa, yang separuhnya berada di 4 provinsi dari 34 provinsi. Ditambah dengan persoalan fasilitas dan daya tampung yang cukup terbatas, menjalani perawatan kesehatan jiwa di Indonesia bagaikan hidup dalam “neraka”.

“Memikirkan seseorang hidup bersama kotoran dan air kencing selama 15 tahun dalam ruang terkunci, terisolasi, dan tak diberi perawatan apapun merupakan hal mengerikan,” ujar Sharma. Tapi, siapa yang peduli? Sedangkan kepedulian dan tindakan mau berbagi: berbagi kepedulian, berbagi waktu, berbagi tenaga, berbagi kesadaran bahwa “kewarasan” dipelihara dengan tidak melepas martabat kemanusiaan di tengah banjir bandang dehumanisasi adalah sikap sejatinya manusia.

Sayangnya, di tengah kegalauan masif itu kita yang berdiri tegak berpegang tonggak kemanusiaan, justru dianggap sosok asing, aneh, bahkan gila. Krisis berpikir menjadi "berkah" bagi mereka yang tenggelam dalam ketidakseimbangan, menjadi "musibah" bagi mereka yang bertahan di kejernihan alam berpikir. Saran Mbah Markesot kepada cucunya, Junit, patut kita renungkan.

“Bagus sekali Junit,” kata Mbah Markesot. “Kalau kalian sudah merasa gila di tengah orang banyak, berarti kalian sudah memiliki landasan untuk memimpin perubahan”

“Kok begitu, Mbah?”

“Karena kalau kalian merasa normal, berarti kalian hanya onggokan-onggokan sampah yang kintir terseret oleh arus zaman”. – Daur 227.

Nah, makin jelas bukan? Siapa yang waras, siapa yang tidak waras? []

Jagalan 180916

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun