Mari kita berhitung. Dengan penduduk sekitar 250 juta jiwa Indonesia hanya memiliki 600 hingga 800 psikiater. Artinya, satu orang psikiater menangani 300.000 hingga 400.000 orang di 48 rumah sakit jiwa, yang separuhnya berada di 4 provinsi dari 34 provinsi. Ditambah dengan persoalan fasilitas dan daya tampung yang cukup terbatas, menjalani perawatan kesehatan jiwa di Indonesia bagaikan hidup dalam “neraka”.
“Memikirkan seseorang hidup bersama kotoran dan air kencing selama 15 tahun dalam ruang terkunci, terisolasi, dan tak diberi perawatan apapun merupakan hal mengerikan,” ujar Sharma. Tapi, siapa yang peduli? Sedangkan kepedulian dan tindakan mau berbagi: berbagi kepedulian, berbagi waktu, berbagi tenaga, berbagi kesadaran bahwa “kewarasan” dipelihara dengan tidak melepas martabat kemanusiaan di tengah banjir bandang dehumanisasi adalah sikap sejatinya manusia.
Sayangnya, di tengah kegalauan masif itu kita yang berdiri tegak berpegang tonggak kemanusiaan, justru dianggap sosok asing, aneh, bahkan gila. Krisis berpikir menjadi "berkah" bagi mereka yang tenggelam dalam ketidakseimbangan, menjadi "musibah" bagi mereka yang bertahan di kejernihan alam berpikir. Saran Mbah Markesot kepada cucunya, Junit, patut kita renungkan.
“Bagus sekali Junit,” kata Mbah Markesot. “Kalau kalian sudah merasa gila di tengah orang banyak, berarti kalian sudah memiliki landasan untuk memimpin perubahan”
“Kok begitu, Mbah?”
“Karena kalau kalian merasa normal, berarti kalian hanya onggokan-onggokan sampah yang kintir terseret oleh arus zaman”. – Daur 227.
Nah, makin jelas bukan? Siapa yang waras, siapa yang tidak waras? []
Jagalan 180916