Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Yang Terkurung dan yang Terpasung

18 September 2016   17:52 Diperbarui: 18 September 2016   18:12 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: http://health.kompas.com/

Pernah membaca cerpen Bre Redana, Seorang Wanita dan Pangeran dari Utara? Nasehat bijak terlontar dari Ibu kepada Sandra, “Coba bayangkan juga bahwa dia tidak menunggu siapa-siapa, tak punya saudara, dan hannya sekedar duduk di taman. Apakah kamu tahu, dia sudah makan pagi segala? Ia juga manusia Cah bagus, yang bisa merasakan sakit.”

Dalam cerpen itu wanita yang duduk di bangku taman kota, sendiri, oleh kebanyakan mereka yang lalu lalang di sana, dianggap gila. “Sayang, semua orang menganggapnya orang gila. Seingatku, hanya aku dan teman sekolah berdarah Indo yang kini menjadi bintang film di Jakarta yang jadi tak pernah menyakitinya,” ungkap Sandra.

Cuplikan cerpen Bre Redana tersebut menggambarkan orang gila, orang yang dianggap gila, orang yang dituduh gila, selalu menerima nasib mengenaskan. Tidak jarang mereka diperlakukan tidak sebagai manusia. Tindak kejahatan, kekerasan, pelecehan seksual nyaris tak terhindarkan. Tindakan orang yang merasa dirinya waras kepada “orang gila” tersebut pada dasarnya menunjukkan "ketidakwarasan" yang sama.

Cobalah sesekali “menikmati” foto Scott Typaldos. Hasil jepretan warga negara Swiss yang ditampilkan dalam nuansa monokrom bertajuk “Butterflies” merampas akal waras, bagaimana masyarakat bahkan pemerintah meperlakukan penyandang disabilitas psikososial. Saya tidak cukup tahan menatap beberapa foto berlama-lama. Hingga akhirnya menyeruak sebuah tanya dari dasar hati, “Bukankah mereka adalah manusia? Mengapa penyandang disabilitas psikososial diperlakukan tidak waras oleh manusia yang merasa dirinya waras? Apa ukuran kewarasan itu?”

Maret 2016 lalu, seperti ditulis hrg.org, Human Rights Watch melaporkan penyandang disabilitas psikososial di Indonesia seringkali dipasung atau dipaksa menjalani pengobatan di institusi tempat mereka, mengalami kekerasan. Penyandang disabilitas psikososial—menegaskan nasib hidup mereka, berakhir dengan dirantai, dipasung.

Takdir baik seakan tidak berpihak. Di institusi yang semestinya mereka diperlakukan secara manusiawi justru menjadi “neraka”: mereka menghadapi kekerasan fisik dan seksual, menjalani pengobatan paksa termasuk terapi elektro-syok, diisolasi hingga dikurung dalam ruang yang sangat sempit.

Peneliti hak disabilitas dari Human Rights Watch, Kriti Sharma menyampaikan keprihatinannya. “Orang menjalani hidupnya selama bertahun-tahun dengan dirantai, diikat di balok kayu, atau dikurung di kandang kambing karena keluarga tak tahu lagi yang harus dilakukan. Sementara pemerintah tidak melakukan pekerjaan dengan baik untuk menawarkan alternatif yang manusiawi.” ujar Sharma.

Stigma yang berkembang di masyarakat adalah mereka yang mengalami gangguan kesehatan jiwa dikarenakan kerasukan roh jahat, kutukan sebagai pendosa, akibat melakukan perbuatan amoral, dan iman yang lemah. Stigma itu pula yang menyebabkan para penderita gangguan jiwa harus menjalani perlakuan yang tidak manusiawi. Penyandang disabilitas psikososial rentan diperlakukan secara diskriminatif.

Lebih dari 57.000 orang di Indonesia dengan kondisi kesehatan jiwa pernah dipasung—dibelenggu atau dikurung di ruang tertutup—setidaknya sekali dalam hidup mereka. Dan berdasarkan data pemerintah terbaru yang tersedia, sekitar 18.800 orang masih dipasung. Walaupun pemerintah telah melarang pemasungan sejak tahun 1977, hingga kini keluarga, paranormal, atau petugas institusi masih membelenggu korban, terkadang sampai bertahun-tahun.

Pada sisi yang lain, Indonesia ikut meratifikasi Konvensi Hak-hal Penyandang Disabilitas (CRPD) pada 2011. Indonesia setuju menjamin hak setara bagi semua penyandang disabilitas termasuk menikmati atas kebebasan dan keamanan, dan bebas dari penyiksaan dan perlakuan buruk. Langkah nyata berusaha diwujudkan pemerintah. Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial telah memulai kampanye anti-pasung. Undang-undang Kesehatan Jiwa tahun 2014 mengharuskan pelayanan kesehatan jiwa terintegrasi ke dalam pelayanan kesehatan umum.

Namun, upaya tersebut harus diakui tidak semudah yang diharapkan. Pelaksanaan bebas pasung di tingkat daerah sangat lamban. Perhatian pemerintah yang rendah terhadap layanan kesehatan bagi penyandang disabilitas menyebabkan pemasungan masih kerap terjadi. Abai terhadap pelayanan kesehatan kesehatan jiwa. 90 persen penyandang disabilitas psikososial tidak bisa mengakses layanan kesehatan, demikian data dari Kementerian Kesehatan.

Mari kita berhitung. Dengan penduduk sekitar 250 juta jiwa Indonesia hanya memiliki 600 hingga 800 psikiater. Artinya, satu orang psikiater menangani 300.000 hingga 400.000 orang di 48 rumah sakit jiwa, yang separuhnya berada di 4 provinsi dari 34 provinsi. Ditambah dengan persoalan fasilitas dan daya tampung yang cukup terbatas, menjalani perawatan kesehatan jiwa di Indonesia bagaikan hidup dalam “neraka”.

“Memikirkan seseorang hidup bersama kotoran dan air kencing selama 15 tahun dalam ruang terkunci, terisolasi, dan tak diberi perawatan apapun merupakan hal mengerikan,” ujar Sharma. Tapi, siapa yang peduli? Sedangkan kepedulian dan tindakan mau berbagi: berbagi kepedulian, berbagi waktu, berbagi tenaga, berbagi kesadaran bahwa “kewarasan” dipelihara dengan tidak melepas martabat kemanusiaan di tengah banjir bandang dehumanisasi adalah sikap sejatinya manusia.

Sayangnya, di tengah kegalauan masif itu kita yang berdiri tegak berpegang tonggak kemanusiaan, justru dianggap sosok asing, aneh, bahkan gila. Krisis berpikir menjadi "berkah" bagi mereka yang tenggelam dalam ketidakseimbangan, menjadi "musibah" bagi mereka yang bertahan di kejernihan alam berpikir. Saran Mbah Markesot kepada cucunya, Junit, patut kita renungkan.

“Bagus sekali Junit,” kata Mbah Markesot. “Kalau kalian sudah merasa gila di tengah orang banyak, berarti kalian sudah memiliki landasan untuk memimpin perubahan”

“Kok begitu, Mbah?”

“Karena kalau kalian merasa normal, berarti kalian hanya onggokan-onggokan sampah yang kintir terseret oleh arus zaman”. – Daur 227.

Nah, makin jelas bukan? Siapa yang waras, siapa yang tidak waras? []

Jagalan 180916

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun