Ya, sekolah senyaman kantor Google. Bukan hanya kenyamanan—iklim kreatif, inovasi, tantangan memecahkan tugas belajar pun berlangsung penuh dinamika kegembiraan. Luwes, fleksibel, cair mengalir, namun penuh tanggung jawab.
Pernyataan salah satu pegawai Google yang mengakui mereka cukup dihargai sebagai pekerja, merasa dihormati sebagai manusia, bukan sebagai onderdil mekanik bisa ditransformasi menjadi sikap pandang sekolah terhadap siswa. Fasilitas yang disediakan Google menunjukkan sikap pandang perusahaan yang menghargai manusia. Sikap pandang yang lagi-lagi patut diboyong ke lingkungan sekolah.
Bukan terutama sekolah harus menyediakan fasilitas serba mewah dan mahal, melainkan menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman untuk manusia, dengan mendayagunakan sumber daya lingkungan yang tersedia.
Untuk memperoleh gambaran tentang kegembiraan pekerja Google, hasil survei menyatakan 97 persen pekerja merasa Google menghadirkan tantangan yang asyik dan menarik, suasana kerja menyenangkan, penghargaan yang apresiatif, dan komunikasi yang cair antar kolega. Tidak heran apabila 98 persen pekerja itu menyatakan bangga bekerja di Google.
Saya membayangkan iklim belajar sekolah serupa itu. Memang, sekolah tidak dihuni oleh para pekerja, namun sebagai sesama manusia, siswa memerlukan iklim, situasi, suasana belajar, yang efektivitas proses tersebut diadopsi dari lingkungan kerja sebuah perusahaan yang menggembirakan.
Mengapa sekolah perlu mengadopsi lingkungan belajar dari perusahaan yang mendesain tempat kerja menyenangkan? Tempat kerja dengan suasana yang kaku, menegangkan, dan sejumlah suasana negatif lainnya telah, menurut The American Institut, menyumbang tingkat stres pekerja sebesar 46 persen. Demikian pula dengan suasana proses belajar yang tegang dan kaku, tugas yang melebihi ambang batas kemampuan siswa, atau sejumlah tekanan akademis lainnya kerap menjadikan siswa stres.
Sejak kecil anak yang berada di bawah tekanan ekspektasi akademik dan kedisiplinan yang kelewat tinggi dari guru atau orangtua, akan tumbuh menjadi seseorang yang kurang percaya diri, selalu cemas, dan tidak bisa menerima kegagalan. Seperti ditulis KOMPAS.com, pola asuh di mana orangtua terlalu mengatur kehidupan anak semenjak mereka kecil ini di sebut helicopter parenting atau pola asuh helikopter.
Studi yang dipublikasikan dalam Journal of Personality ini menemukan sebanyak 60 persen anak yang diasuh ekstra disiplin tumbuh dengan rasa tidak percaya diri, labil, dan memiliki kritik tajam pada diri sendiri. Selain itu, peneliti juga menemukan bahwa 78 persen anak yang tumbuh dengan pola asuh helikopter, mereka tidak bisa menerima kegagalan dan selalu ingin memenuhi standar tinggi di lingkungan sekitarnya.
Studi tersebut menunjukkan lingkungan dan suasana belajar yang tidak menyenangkan, tidak humanis, tidak menghargai anak—karena ekspektasi tuntutan hasil terlampau tinggi serta—justru kontra produktif bagi hasil belajar dan masa depan anak itu sendiri. Hal serupa bisa terjadi pula di tempat bekerja. Di tengah lingkungan yang negatif itu performa siswa dan pekerja menurun tajam.
Semakin performa itu menurun, baik di kalangan siswa atau pekerja, merasa diri sebagai robot, mesin, atau onderdil mekanik semakin kuat. Sampai di sini kita bisa membayangkan apa dan bagaimana nasib masa depan siswa dan para pekerja itu. Kecintaan terhadap belajar dan bekerja akan hilang dengan sendirinya, karena mereka bukan “manusia” lagi, melainkan robot atau onderdil mekanik.
Lingkungan yang negatif dan performa belajar yang menurun itu ditandai oleh “pelecehan” nilai-nilai yang sering dipajang di dinding sekolah. Ditulis dengan huruf kapital, misalnya: Salam, Senyum, Sapa, Salim, Santun, namun perilaku guru dan siswa tidak menunjukkan 5 S tersebut. Sekolah menjadi lingkungan yang serba paradoks: perilaku keseharian tidak sesuai dengan apa yang diciita-citakan, dicanang-canangkan, diharap-harapkan. Seakan-akan setiap siswa hidup dan berjalan menurut “program” yang diinstal ke dalam otak mereka tanpa makna kehadiran di lingkungan sekitar.
Alih-alih membuat banyak peraturan mengapa sekolah tidak mengaktivasi performa dan tanggung jawab siswa? Tidak menciptakan lingkungan dan suasana belajar yang fleksibel namun tetap fokus pada proses demi proses? Tidakkah pengambil keputusan dan regulasi pendidikan menyadari bahwa para siswa adalah generasi milenial yang hidup di tengah arus teknologi digital, arus zaman yang membentuk karakter belajar mereka berbeda dengan guru, orangtua, dan pengambil kebijakan itu sendiri?
Lihatlah bagaimana mereka belajar dan mempelajari sesuatu. Jajak pendapat Litbang Kompas menggambarkan hal itu. Mayoritas responden yang berada di kategori usia muda yang paling banyak menyaksikan tutorial daring. Sebanyak 67,8 persen responden di rentang usia 17-30 tahun pernah melakukannya. Angka ini menurun seiring dengan meningkatnya kategori usia. Di rentang usia 31-50 tahun sebanyak 38,5 persen responden yang pernah menyaksikan tutorial daring. Sementara di kategori usia lebih dari 51 tahun, hanya 16,3 persen.
Angka ini tidaklah mengejutkan, tulis print.KOMPAS.com, karena usia 17-30 tahun masuk ke dalam kategori digital native.Siapakah mereka?Adalah kelompok orang yang sejak lahir sudah dihadapkan dengan perkembangan teknologi.
Manusia akan selalu butuh belajar, namun cara mereka belajar ditentukan oleh “watak” perkembangan teknologi di zamannya. Ketika informasi dan sumber belajar yang hadir melalui internet bisa diakses selama 24 jam, sementara yang disebut belajar adalah siswa duduk rapi dalam kelas, guru menerangkan, siswa mendengarkan—bagi generasi milenial alangkah “purba” kegiatan belajar seperti itu.
Ironisnya, ketika mereka merasa tidak nyaman, tidak “klik”, tidak nyambung dengan proses belajar yang “itu-itu” dan “begitu-begitu” saja, sekolah tidak segan menimpakan sejumlah atribut negatif, baik fisik maupun non fisik. Dalam kadar dan taraf tertentu, sekolah menjelma ancaman. Google, Facebook, Instagram, Youtube menjadi dunia nyata, ruang tanpa batas bagi anak-anak itu untuk hidup dan menumpahkan ekspresi kemanusiaan, yang sekolah, guru, atau orangtua tidak sanggup menampungnya. []
Jagalan 170916
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H