Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mata Survei Kebahagiaan yang Kehilangan Jejak

15 September 2016   23:19 Diperbarui: 16 September 2016   00:20 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namanya Cak Mul, lengkapnya Mulyadi. Lelaki berusia 30 an tahun itu bertelanjang dada di terik matahari yang menikam kulit. Tubuhnya mengkilat oleh keringat. Sesekali ia menyeka keringat di dahinya. Lalu tangan yang kekar itu mengatur perapian di dalam goa yang membara. Tumpukan batu bata itu dipanggang oleh bara api.

Dari jarak sekitar lima meter mripat saya ngiyer-ngiyer, kesababan aura panas yang sangat. Jam satu siang, sesaat setelah matahari sediikit bergeser dari atas ubun-ubun kepala, Cak Mul ngobong boto di tengah sawah, tidak mengandalkan iyup-iyupan. Panas api dan terik matahari sama sekali tidak mengganggunya. Raja Dangdut Rhoma Irama berdendang, memecah suasana panas, dan Cak Mul turut bernyanyi dengan suara serak, sambil berjoget.

Saya memutuskan akan kembali pulang tapi Mbak Yul, istri Cak Mul datang membawa kopi, juga dalam keadaan masih panas. Saya urungkan pulang, ngopi panas dulu, di tengah tikaman terik matahari, bersebelahan dengan goa panas perapian tempat ngobong boto. Sedemikian panaskah hidup ini, selalu panas, dan akan selamanya panas?

Situasi serba panas itu tidak berlaku bagi Cak Mul. Lelaki itu tidak merautkan segores pun kesusahan di wajahnya. Ia sumringah, nampak sumringah, selalu sumringah. Riang dan ceria. Ia justru tidak tampak sedang bekerja keras, bahkan terlihat menikmati suasana serba panas. Seperti itukah rasa bahagia saat bekerja?

Tidak tahu saya isi suasana hati Cak Mul.  Bersama istri dan seorang anak perempuan usia empat tahun Cak Mul hidup bahagia. Pertanyaan berbalik kepada diri sendiri, apakah saya bahagia dengan pekerjaan saya selama ini?

Andai saya hidup di India, jawaban itu pasti bisa langsung saya jawab. Ya, saya bahagia. Mengapa India? Karena India adalah negara dengan persentase kebahagiaan paling tinggi, kata laporan dari Edenred-Ipsos Barometer. Para pekerja di India merasa memiliki rasa positif terhadap pekerjaannya. Rasa positif itu lantas menggiring mereka menemukan rasa bahagia saat bekerja. Bos yang mengapresiasi kerja karyawan, rekan kerja yang ramah, lingkungan kerja yang menyenangkan merupakan komponen yang menghadirkan kebahagiaan. 88 persen pekerja di India merasakan itu semua.

Negara lain yang memiliki pekerja paling bahagia setelah India, menurut laporan yang dilansir World Economic Forum, adalah Meksiko 81 persen, kemudian Amerika Serikat, Chile, dan Brasil, masing-masing 77 persen. Yang mengejutkan adalah Jepang, “hanya” 44 persen.  

Bisa ditebak, tekanan psikis menjadi penyebab kepuasan pekerja di Jepang berada di tingkat bawah. Hal itu diakui oleh Kementerian Kesehatan Jepang bahwa tekanan pekerjaan yang berujung pada tekanan psikis membuat anak muda tak bahagia.

Menjadi menarik apabila kita bertanya, mengapa dan apa ukuran kepuasan di tempat kerja? Laporan berjudul “Employee Job Satisfaction and Engagement Survey” bisa dijadikan rujukan. Laporan dari survei Society for Human Resource Management (SHRM) itu menyatakan, 88 persen pekerja Amerika Serikat merasa puas dengan pekerjaan mereka. 51 persen diantara responden menyatakan merasa agak puas, dan 37 persen merasa sangat puas.

Ternyata gaji berperan 63 persen menyumbang kepuasaan kerja, kalah tinggi dengan perlakuan baik dari semua level pekerja yang berperan sebesar 67 persen. Lalu disusul oleh komponen yang lebih rendah, yakni tunjangan 60 persen, keamanan kerja 58 persen, rasa percaya antara pekerja dan atasan 55 persen.

Komponen kepuasan pekerja tersebut tercermin dari saran Jeanne Renard, Executive Vice President Human Resources di Edenred-Ipsos Barometer, kebahagiaan diawali dari pikiran, demikian pula para pekerja. Saran Renard tersebut bisa disimulasikan secara sederhana. Gaji cukup tinggi umpamanya, namun rasa percaya antara pekerja dan atasan nihil, akan memengaruhi pikiran. Mental tertekan. Ujung-ujungnya stres, susah tidur, malas berangkat ke tempat kerja, dan seterusnya.

Hubungan di lingkungan kerja sesungguhnya adalah relasi antar manusia yang menduduki fungsi jabatan tertentu. Hubungan yang kaku, mekanik, linier layaknya mesin atau robot akan mengikis relasi humanisme. Bagaimanapun, manusia tetap manusia—dengan “perangkat lunak” kemanusiaan yang telah terinstal secara laten dalam dirinya. Perangkat lunak tersebut tidak cukup diaktivasi, bahkan harus terlindung dari virus yang mengancam fitrahnya sebagai manusia.

Virus akan otomatis menyerang "perangkat lunak jiwa" manusia tatkala batas proporsional atau bahasa Jawa menyebut empan papan, dilanggar oleh individu atau sekelompok orang yang bekerja dalam sebuah sistem kerja. Semua ada batas dan takaran masing-masing. Empan papan adalah kesadaran individu dan kolektif memelihara takaran tersebut.

Maka, takaran empan papan akan memandu kesadaran tatkala kebahagiaan bekerja berhasil diaktivasi oleh setiap individu. Menemukan makna bekerja, baik secara lahir dan batin, merupakan tombol aktivasi yang perlu diakses. Makna bekerja dikandung oleh rasa cinta. Mereka yang bekerja dengan sepenuh cinta bukan semata-mata uang yang jadi puncak keberhasilan. Rasa bahagia bisa saja tiba-tiba menyelinap ke dalam lubuk hati ketika kita berhasil membantu orang lain.

Bekerja sepenuh cinta juga akan menuntun kita menemukan sisi kegembiraan paling dalam atas apa yang kita kerjakan, betapapun pekerjaan itu di mata orang lain menyengsarakan. Pasti ada sisi yang menyenangkan, menggembirakan, membahagiakan dari aktivitas tersebut. Sisi tersembunyi itulah yang perlu kita gali dan temukan dalam perasaan diri.

Kegembiraan Cak Mul yang ngobong boto itu menjadi cermin sekaligus refleksi diri bahwa kesengsaraan menemukan relativitasnya. Bagi kita yang terbiasa bekerja dalam ruangan berpendingin, pekerjaan Cak Mul di tengah sawah adalah siksaan dan kesengsaraan yang nyata. Namun, benarkah demikian? Mata pandang empan papan akan menjawabnya, karena mata survei rasionalisme modern kehilangan jejak menelusuri kedalaman jiwa manusia. []

Jagalan 150916

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun