Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika Negara Lain Lebih Mengenal Jati Diri Bangsa Indonesia

7 September 2016   21:44 Diperbarui: 8 September 2016   13:46 675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pedati perunggu yang diduga berasal dari zaman Majapahit. Saat ini menjadi koleksi milik Metropolitan Museum, Amerika Serikat. (Dok. Metropolitan Museum) | Sumber: http://nationalgeographic.co.id/

Tulisan ini bukan romantisme untuk melarikan diri dari kegelisahan nasib bangsa, bukan mitologi irasional untuk membesar-besarkan diri, bukan pula mimpi-mimpi kosong untuk hiburan di tengah himpitan persoalan yang menggerus naluri kemanusiaan. Cipratan dan kekayaan surga bernama Indonesia Raya adalah kenyataan alam dengan berbagai dimensi, keunikan, detail-detail variasi, lipatan-lipatan fakta—jasmani maupun rohani.

Kita simak sepenggal renungan tembang Lir Ilir dari Cak Nun berikut ini:

“Menggeliatlah dari tidurmu, tutur sunan, siumanlah dari pingsanmu, bangkitlah dari nyenyak tidur panjangmu. Sungguh negeri ini adalah penggalan surga.

Surga seolah pernah bocor dan mencipratkan kekayaan dan keindahannya, cipratan keindahannya itu bernama Indonesia Raya.

Kau bisa tanam benih kesejahteraan apa saja diatas kesuburan tanahnya yang tak terkirakan, tak mungkin engkau temukan mahkluk Tuhanmu kelaparan ditengah hijau bumi kepulauan, bisa engkau bangun apa saja yang ingin dibangun, bahkan lebih dari yang bisa dicapai oleh negeri-negeri lain yang manapun.”

Tembang gubahan Sunan Kalijaga lima abad silam menggambarkan kenyataan historis sekaligus visi masa depan bangsa. Bangsa yang di atas tanah kehidupannya dihamparkan kesejahteraan tiada banding bahkan oleh kesuburan tanah Eropa yang dikumpulkan jadi satu. Karya adiluhung itu kini tinggal kenangan, sebatas kenangan, menjadi kenangan—klangenan  budaya yang lirih disenandungkan.

Kekayaan itu menjadi bukan kekayaan lagi karena di kepala kita kekayaan adalah keuntungan materi, itu pun sebatas kekayaan yang bisa dilihat dan dirasakan pancaindera. Gemah ripah loh jinawi adalah dongeng negeri impian. Anak-anak kita sulit memahaminya, bahkan sekadar membayangkan sekalipun.

Identitas sejarah masa lalu terkurbur dan terpendam dalam-dalam. Kita lebih memilih menjadi orang lain, bangsa lain, peradaban lain, yang sama sekali bukan diri kita. Perjalanan kebangsaan kita terpenggal, terputus, tidak terkoneksi dengan sejarah DNA kebangsaan kita yang otentik. Bahkan untuk menengok kembali, melacak manuskrip atau sekadar memfoto sejarah Lampung era 1860-1940 kita harus membayar sebesar 6 Euro di perpustakaan Leiden.

Menurut data Perpustakaan Nasional, naskah kuno, kekayaan jati diri bangsa kita, banyak tersimpan di luar negeri. Tidak kurang 26.000 naskah kuno tersimpan rapi dan aman di perpustakaan Universitas Leiden Belanda. 

Mengutip nationalgeographic.co.id, sejumlah benda sejarah milik Indonesia tersebar di Belanda, Inggris, Austria, bahkan sampai ke Rusia. Di Inggris misalnya, ada sekitar 6.000 koleksi, sedangkan di Australia terdapat sekitar 3.000 benda etnografi Indonesia, ungkap Intan Mardiana, Direktur Museum Nasional.

Catatan perjalanan Aryanto dan S. Pujiono yang dikirim oleh Pusat Studi Strategi dan Kebijakan (PUSSbik) ke Leiden Belanda melaporkan, di perpustakaan Fakultas Hukum, khususnya di Van Vollenhoven Institute (VVI) dan Perpustakaan The Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde/Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studie, koleksi tentang Indonesia terawat dan tertata rapi yang bisa dilacak mulai tahun 1811.

Bukan hanya di Leiden, naskah-naskah kuno Indonesia yang tersimpan di Perpustakaan The British Library London, The Bodleian Library di Oxford, Perpustakaan Berlin di Jerman, atau di sejumlah negara lain, kondisinya terawat dengan sangat baik dan dapat diakses dengan mudah.

Negara-negara lain sangat mengenali jati dirikebangsaan kita, mengenali jeroan sejarah peradaban bangsa nusantara, mengenali dinamika dan pasang surut perjalanan berbangsa dan bernegara kita. Melebihi pengenalan kita terhadap bangsa kita sendiri yang seharusnya dan seyogianya harus lebih kita kenal. Bagaimana tidak, bahkan kumpulan Peraturan Daerah (Perda) dari berbagai provinsi di Indonesia, sampai undang-undang terbaru tahun 2007 terkoleksi dengan baik di Leiden.

Lalu apa yang tersisa ketika kekayaan adiluhung bangsa kita justru terawat cukup apik di negara lain? Memboyong kembali ke Indonesia? Padahal menurut Jhohannes Marbun, Koordinator Masyarakat Warisan Budaya (Madya), Belanda sudah membuka pintu bagi Indonesia, namun sejumlah persyaratan untuk benar-benar merawat naskah kuno, manuskrip, benda bersejarah belum dapat dipenuhi Indonesia.

Kepala Bidang Museum, Sejarah dan Purbakala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur Endang Prasanti pernah menuturkan, ada orang asli Leiden ingin menghibahkan koleksi wayangnya sebanyak 1.500 buah ke Indonesia. Lagi-lagi keinginan itu batal karena sejumlah kelemahan sarana dan prasarana yang menjadi kendala pemeliharaan. Untuk itu pemerintah Indonesia harus serius berhitung soal perawatan benda bersejarah dan manuskrip kuno yang kini banyak di luar negeri.

Soal perawatan belum tuntas benar ditemukan solusinya, kasus demi kasus pencurian benda bersejarah terus menghatui. Pada 2013 lalu Museum Nasional kecurian koleksi empat artefak emas kerajaan Mataram Kuno abad ke-10, yaitu Lempeng Naga Mendekam, Lempeng Harihara, Lempeng Bulan Sabit Beraksara, dan Cepuk Bertutup. Di awal 2016, 311 naskah di Aceh raib dan terjual ke Malaysia yang ditaksir mencapai harga 1,2 miliar rupiah.

Dalam kasus jual beli benda purbakala Indonesia menjadi surga yang menggiurkan. Surga yang menjanjikan keuntungan materi yang melimpah ruah hasil menjual ‘kekayaan’ bangsa kepada kolektor pribadi di luar negeri. Sebuah ironi memang, ketika kekayaan bangsa dihargai tidak lebih mahal dari nilai dolar. Martabat dan harga diri bangsa tergadai, dan bahkan terjual murah.

Pakaianmu atau dodot iro dalam tembang Lir Ilir adalah simbol martabat dan harga diri bangsa. Dodot iro-dodot iro, kumitir bedah ing pinggir. Dondomono, jlumatono, kanggo sebo mengko sore. “Pakaianlah yang membuat manusia bukan binatang, ujar Cak Nun. “Pakaianlah yang membuat manusia bernama manusia. Pakaian adalah akhlak, pegangan nilai, landasan moral, dan sistem nilai, pakaian adalah rasa malu, harga diri, kepribadian, tanggungjawab.”

Saya tercenung menyimak wejangan beliau. “Pakaian kebangsaan, telah kita robek-robek sendiri dengan pisau kerakusan dan pengkhianatan, ketamakan, dan semena-mena. Maka dondomono djlumatono, jahitlah robekan-robekan itu, utuh kembali, tegakkan harkat yang selama ini telah ambruk dan roboh…” []

Jagalan 070916

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun