Bukan hanya di Leiden, naskah-naskah kuno Indonesia yang tersimpan di Perpustakaan The British Library London, The Bodleian Library di Oxford, Perpustakaan Berlin di Jerman, atau di sejumlah negara lain, kondisinya terawat dengan sangat baik dan dapat diakses dengan mudah.
Negara-negara lain sangat mengenali ‘jati diri’ kebangsaan kita, mengenali jeroan sejarah peradaban bangsa nusantara, mengenali dinamika dan pasang surut perjalanan berbangsa dan bernegara kita. Melebihi pengenalan kita terhadap bangsa kita sendiri yang seharusnya dan seyogianya harus lebih kita kenal. Bagaimana tidak, bahkan kumpulan Peraturan Daerah (Perda) dari berbagai provinsi di Indonesia, sampai undang-undang terbaru tahun 2007 terkoleksi dengan baik di Leiden.
Lalu apa yang tersisa ketika kekayaan adiluhung bangsa kita justru terawat cukup apik di negara lain? Memboyong kembali ke Indonesia? Padahal menurut Jhohannes Marbun, Koordinator Masyarakat Warisan Budaya (Madya), Belanda sudah membuka pintu bagi Indonesia, namun sejumlah persyaratan untuk benar-benar merawat naskah kuno, manuskrip, benda bersejarah belum dapat dipenuhi Indonesia.
Kepala Bidang Museum, Sejarah dan Purbakala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur Endang Prasanti pernah menuturkan, ada orang asli Leiden ingin menghibahkan koleksi wayangnya sebanyak 1.500 buah ke Indonesia. Lagi-lagi keinginan itu batal karena sejumlah kelemahan sarana dan prasarana yang menjadi kendala pemeliharaan. Untuk itu pemerintah Indonesia harus serius berhitung soal perawatan benda bersejarah dan manuskrip kuno yang kini banyak di luar negeri.
Soal perawatan belum tuntas benar ditemukan solusinya, kasus demi kasus pencurian benda bersejarah terus menghatui. Pada 2013 lalu Museum Nasional kecurian koleksi empat artefak emas kerajaan Mataram Kuno abad ke-10, yaitu Lempeng Naga Mendekam, Lempeng Harihara, Lempeng Bulan Sabit Beraksara, dan Cepuk Bertutup. Di awal 2016, 311 naskah di Aceh raib dan terjual ke Malaysia yang ditaksir mencapai harga 1,2 miliar rupiah.
Dalam kasus jual beli benda purbakala Indonesia menjadi ‘surga’ yang menggiurkan. Surga yang menjanjikan keuntungan materi yang melimpah ruah hasil menjual ‘kekayaan’ bangsa kepada kolektor pribadi di luar negeri. Sebuah ironi memang, ketika kekayaan bangsa dihargai tidak lebih mahal dari nilai dolar. Martabat dan harga diri bangsa tergadai, dan bahkan terjual murah.
Pakaianmu atau dodot iro dalam tembang Lir Ilir adalah simbol martabat dan harga diri bangsa. Dodot iro-dodot iro, kumitir bedah ing pinggir. Dondomono, jlumatono, kanggo sebo mengko sore. “Pakaianlah yang membuat manusia bukan binatang, ujar Cak Nun. “Pakaianlah yang membuat manusia bernama manusia. Pakaian adalah akhlak, pegangan nilai, landasan moral, dan sistem nilai, pakaian adalah rasa malu, harga diri, kepribadian, tanggungjawab.”
Saya tercenung menyimak wejangan beliau. “Pakaian kebangsaan, telah kita robek-robek sendiri dengan pisau kerakusan dan pengkhianatan, ketamakan, dan semena-mena. Maka dondomono djlumatono, jahitlah robekan-robekan itu, utuh kembali, tegakkan harkat yang selama ini telah ambruk dan roboh…” []
Jagalan 070916
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H