Apakah bahagia itu? Pertanyaan yang tidak pernah selesai bahkan sejak bumi dihuni manusia pertama sampai kelak batas waktu dunia berakhir. Bahagia—entah makhluk apa ia. Penuh misteri, rumit, berlapis-lapis, getaran-getaran aneh, tapi hadir begitu nyata di momen krusial hidup seseorang.
Sedemikian sederhana rasa bahagia dan sarat misteri mengejawantah di ruang hati sehingga rumus dan definisinya mengalir dari seorang filosof sampai pedagang kaki lima; dari yang berburu bahagia bagaikan mengejar bayangannya sendiri sampai seorang nenek tua yang memenuhi kebutuhan hidup dengan berjualan air mineral di terminal; dari para koruptor yang bagaikan serigala lapar sampai seorang rahib yang tenggelam dalam sunyi pencerahan.
Nicomachean Ethics,yang ditulis Aristoteles 2300 tahun lalu, menyuarakan denting bening apa itu bahagia. “Dia yang berbahagia adalah yang hidup sejalan dengan keutamaan dan terpenuhi segala kebutuhannya—bukan untuk sementara, melainkan selama-lamanya.”
Selama-lamanya, apakah ia keabadian tanpa batas, kekal, yang bergaris pinggir entah? Ataukah bahagia itu sejenis makhluk abadi yang merangkul manusia-manusia abadi berkat setiap apa yang dikerjakan menjangkau keabadian? Ataukah bahagia adalah tak lain dari energi itu sendiri, sekadar “malih rupa” yang tidak bisa diciptakan dan dilenyapkan?
Atas semua pertanyaan itu kita tidak harus menjawabnya sekarang. Bahagia akan selalu otentik hadir di setiap ruang rasa manusia. Justru yang mendesak untuk diklarifikasi adalah mengapa kita bahagia? Bagaimana kita meraih bahagia? Atau lebih spesifik dan teknis, apa yang membuat kita merasa bahagia?
Pertanyaan yang menggoda itu akan mengantarkan kita pada pemahaman, kebahagiaan bukanlah semata-mata perwujudan rasa senang—yang membuat kita tersenyum, melainkan hidup yang dijalani secara mulia, hidup yang jelas mengandung banyak rasa sakit, seperti diungkapkan Darrin M. McMahon, sejarawan dari Florida State University, dalam Happiness: a History (2006).
Hidup bermartabat, menjaga harga diri secara jujur dan apa adanya, tanpa beban keinginan menjadi orang yang bukan diri kita merupakan laku hidup bahagia. Kita memang tidak sedang membabar uang, harta melimpah, jabatan dan kekuasaan sebagai faktor dominan yang disangka oleh pemabuk materialisme sebagai tuhan yang menghadirkan kebahagiaan. Kita sedang menggali tanah kehidupan, menemukan akar kebahagiaan. Sedangkan segala asesoris dan simbol-simbol yang disangka “penampakan” wujud bahagia sesungguhnya adalah bisikan-bisikan hati yang diliputi rasa cemas dan was-was.
Tidak heran ketika Cicero, pemikir dan negarawan Roma, menegaskan orang yang bahagia akan tetap bahagia sekalipun terikat di tiang penyiksaan. Penegasan Cicero mengingatkan kita pada sosok Nelson Mandela, Soekarno, atau pejuang kemanusiaan yang secara sengaja ditimpakan beban derita kepada mereka melebihi ambang batas kesanggupan manusia. Semakin ditimbun batu-batu cadas derita, akar pohon kebahagiaan mereka semakin menghujam ke perut bumi.
Mengukur Kebahagiaan?
Adalah Sustainable Development Solutions Network (SDSN) lembaga bentukan PBB menerbitkan laporan kebahagiaan dunia. World happiness report dirilispertama kali pada 2012. Semacam upaya untuk mengukur kebahagiaan di 157 negara dengan melibatkan para ekonom, neurosaintis, dan ahli statistik untuk mengumpulkan data yang meliputi enam variabel, yaitu produk domestik bruto (PDB) per kapita, usia harapan hidup dalam keadaan sehat, bantuan sosial, kebebasan, kedermawanan, dan kebersihan dari korupsi.
Kebahagiaan yang bersembunyi dalam goa misteri dihadirkan melalui variabel-variabel penelitian. Tidak jadi masalah selama hasil dari penelitian itu dijadikan rujukan dan pertimbangan untuk meningkatkan kebahagiaan publik.
Indonesia bagaimana? Pada rentang 2013-2015 Indonesia menempati posisi sedang-sedang saja pada peringkat ke-79 dari peringkat pertama yang diduduki Denmark. Perilaku koruptif adalah penyumbang paling besar yang memaksa indeks kebahagiaan masyarakat Indonesia melorot versi SDSN.
Keluarga Harmonis “Penyumbang” Kebahagiaan
Kalau korupsi adalah penyumbang terbesar ketidakbahagiaan, lalu apa penyumbang terbesar kebahagiaan masyarakat Indonesia? Indeks kebahagiaan yang dirilis Badan Pusat Statistik (survei menurut ukuran Indonesia) dalam skala 0-100 indeks kebahagiaan masyarakat Indonesia pada 2014 adalah 68,28, meningkat 3,17 poin dibandingkan tahun 2013 yang mencapai 65,11.
Penyumbang terbesar indeks kebahagiaan masyarakat Indonesia adalah keharmonisan keluarga sebesar 78,89. Sedangkan pendidikan menyumbang skor 55,28.
Keharmonisan keluarga dan pendidikan adalah dua sisi mata uang tak terpisahkan, terutama bagi remaja yang sedang menempuh perjalanan menggapai cakrawala kebahagiaan. Untuk menciptakan keluarga harmonis remaja memerlukan kesadaran edukasi dan kegigihan pendidikan agar tidak terjebak pada bahagia sesaat yang menyengsarakan hidup.
Demikian juga upaya edukasi dan gerakan pendidikan akan menumbuhkan kesadaran dan perilaku nyata dalam keluarga sehingga terjalin keharmonisan yang indah dan menenteramkan.
GenRe, Bukan Program Parsial dan Sporadis
Sungguh tepat upaya BKKBN meluncurkan Program Generasi Berencana, GenRe. Program yang membantu penyiapan kehidupan berkeluarga bagi remaja itu sejalan dengan fakta indeks kebahagiaan masyarakat Indonesia, yang menempatkan pendidikan dan keharmonisan keluarga sebagai penyumbang poin terbesar kebahagiaan.
Program GenRe bukanlah program parsial dan sporadis untuk (sekadar) mengajak remaja menikah di usia yang tepat. Kompleksitas permasalahan yang sedang dihadapi dan yang bakal ditemui remaja pada tahun mendatang akan terus meningkat intensitas tekanan dan dampak kehancurannya. Kita bukan sekadar bergelut dengan aborsi, pernikahan dini, darurat narkoba, HIV/AIDS. Bukan pula hanya bergulat dengan makin maraknya seks bebas, kehamilan di luar nikah, atau pemicu yang justru berangkat dari keluarga itu sendiri seperti kekerasan dalam rumah tangga, perceraian pasangan yang telah memiliki anak, anggota keluarga yang dihantam kasus korupsi.
Yang sesungguhnya sedang kita hadapi adalah mendampingi remaja agar memiliki mindset, cara berpikir, sikap berpikir, jarak berpikir, sudut berpikir yang otentik, mandiri, dan bermartabat. Dan semua itu dicapai melalui salah satu program GenRe yang paling fundamental, yaitu menempuh pendidikan (dalam arti yang substansial dan seluas-luasnya) secara terencana.Inilah pendidikan yang karakter yang sesungguhnya.
Remaja yang berkarakter dan bermartabat akan tahan terhadap bukan saja gelombang iming-iming narkoba, seks bebas, pernikahan dini—mereka akan dengan sendirinya menemukan jalan hidupnya yang otentik, dan salah satu indikatornya adalah mandiri. Tidak bergantung pada misalnya orangtua atau pihak-pihak yang justru menjajah martabat dan melumpuhkan karakternya.
Selain mampu merencanakan dan meniti karir dalam pekerjaan, upaya menggapai masa depan itu dilakoninya dengan tetap menjaga karakter mulia sebagai manusia bermartabat. Korupsi—jelas dan pasti—bukan pilihan sikap hidupnya.
Hidup berkelimpahan dalam kebeningan dan pencerahan semacam itulah yang menjadi pondasi untuk membangun keluarga harmonis. Bahagia? Pasti akan dengan sendirinya bersemayam dalam rumah yang setiap pasangan suami istri dan anaknya senantiasa berada dalam atmosfir aufklarung. Keadaan ketika pikiran, perkataan, dan tindakan serba selaras, ungkap Mahatma Gandhi. Atau meminjam ungkapan George Burns, seorang aktor berkebangsaan Amerika Serikat yang memenangkan nominasi Academy Award, sebuah keluargabesar yang anggotanya saling mengasihi, akur, penuh cinta.
Apakah bahagia itu? Pertanyaan yang tidak pernah selesai bahkan sejak bumi dihuni manusia pertama sampai kelak batas waktu hidup berakhir. Bahagia—entah makhluk apa ia, penuh misteri, rumit, berlapis-lapis, getaran-getaran aneh, tapi hadir begitu nyata di momen krusial hidup seseorang.
Bahagia bukan terutama untuk dirumus-rumuskan, tapi dirasakan di setiap tarikan dan hembusan nafas—untuk waktu selama-lamanya.[]
Jagalan 280816
Achmad Saifullah Syahid (Facebook | Twitter)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI