Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mencermati Momentum Egoisme Berita Bohong

26 Agustus 2016   18:44 Diperbarui: 26 Agustus 2016   19:19 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: http://www.boombastis.com/berita-hoax/26784

Mas Joko bersungut-sungut. Seharian ia hanya ingin marah dan melampiaskannya entah kepada siapa ia sendiri tidak tahu. Yang pasti bukan kepada istrinya karena perempuan yang memberinya empat anak itu pasti mendukung harga rokok naik Rp. 50.000.

Mas Joko yang menetang harga rokok naik dan istri yang sering ngedumel agar suaminya berhenti merokok, keduanya tidak merasa perlu melakukan klarifikasi perihal fakta berita yang ramai digunjingkan itu. Memakai bahasa agama, Mas Joko dan istri tidak melakukan tabayun—meneliti, menimbang, menelusuri kembali sumber berita dan keabsahannya.

Pokoknya begitu santer terdengar berita sebentar lagi rokok naik jadi Rp. 50.000, spontan Mas Joko ditelan kegalauan hiruk pikuk itu tema, apalagi warung kopi adalah ajang “seminar” tanpa klarifikasi. Begitu pula sang istri seketika menjerit bahagia. “Modar kau suamiku. Uang darimana lagi untuk beli rokok yang mahal itu!”—adalah suara hati dan kutukan istri yang mendambakan suaminya berhenti merokok.  

Alangkah mudah sebuah berita, kabar, tembung jare, informasi katanya memengaruhi sikap dan cara berpikir bahkan sampai ke tataran tindakan keseharian seseorang. Tembung jare memberondong akal pikiran dengan frekuensi tembakan yang tinggi. Kita pun kedodoran. Akal serasa lumpuh. Objektifitas, sudut pandang, cara pandang, jarak pandang, sikap pandang tumpul seketika.

Pertahanan satu-satunya adalah kepentingan diri—atau lebih jelasnya ya egoisme kita itu. Egoisme menuntun kita bagaimana merespon tembung jare. Walaupun kabar itu dihembuskan dari liang kubur, asal cocok dan tidak mengganggu kepentingan egoisme, dengan sendirinya ia adalah berita yang sahih. Mati-matian kita mendukung dan memviralkannya. Sebaliknya, ketika kabar itu jelas kesahihannya tapi mengusik kepentingan egoisme, tak segan kita galang komando untuk melawannya.

Ironisnya, di tengah kebanggaan mencapai puncak tahta informasi dan teknologi ini kita tidak berdaulat terhadap keputusan diri sendiri. Egoisme—dengan beragam varian, tataran, dimensi, ruang lingkup, jangkauan, kadar, dan segala macam lipatan-lipatannya—menjadi panglima kegelapan yang keluar dari goa gelap abad primitif.

Tragedi politik, budaya, ekonomi, dan bidang kehidupan luas lainnya bermula dari tragedi egoisme itu. Tragedi itu pun bersimbiosis mutualisme: menemukan momentum, jalan, thariqah, syariatnya dengan banjir bandang informasi yang membawa sampah-sampah. Berita hoaks bersimaharajalela. Kabar bohong menyebar dari pintu ke pintu.

“Kentut” Harga Rokok

Baiklah kita telusuri pelan-pelan. Kita mulai dari “hoaks” harga rokok Rp. 50.000. Alurnya adalah bermula dari sebuah rilis hasil penelitian universitas terkemuka tentang harga rokok yang membuat “ahli hisab” kembali ke “jalan yang benar”. Ketemulah harga Rp. 50.000 per bungkus. Harga yang diperkirakan sudah sangat mahal itu akan membuat “ahli hisab” yang mayoritas pendapatannya “pas-pasan” kelabakan. Hasil penelitian menyatakan dengan harga setinggi langit itu jumlah perokok akan tersungkur anjlok sampai 70 %.

Tidak berhenti disitu. Portal berita abal-abal menemukan momentum egoismenya. Ditulisnya judul khas makhluk purba, yang intinya, “Pemerintah Mengeluarkan Kebijakan! Harga Rokok Naik Rp. 50.000!!”

Momentum egoisme itu menemukan jalannya sendiri. Berita kenaikan harga rokok berjejal-jejal memenuhi lini media sosial. Warga digital, manusia supra-modern, penghuni abad milenial saling bergunjing, memperdebatkan, mengolok, menghujat, mencurigai sebuah tema berita, tanpa seorang pihak pun merasa perlu bersikap waspada, jernih, lalu bertabayun.

Ungkapan menggelitik dari Cak Nun tepat kiranya untuk menuding kegaduhan semua itu: suoro tanpo rupo. Suara tanpa muka. Maksudnya, ada suara tapi tidak tahu, tidak jelas, tidak dijelaskan, tidak perlu menjelaskan, tidak merasa penting untuk menemukan kejelasan—dan sengaja dibiarkan tidak jelas siapa yang bersuara.

Zaman saya kecil itulah suara kentut. Jelas terdengar tapi tidak tahu siapa pelakunya karena si pengentut berpura-pura tidak kentut, menyamarkan diri, lalu sengaja mengelak segala bentuk tudingan, fitnahan, provokasi, hujatan. Saling tuding dan sikap menyalahkan satu sama lain tak dapat dihindari.

“Suoro Tanpa Rupo” Kerukunan Beragama

Maka, sejak manusia belum menemukan kertas dan alat tulis sampai media sosial menjadi pintu masuk segala informasi, bahkan pun kelak dunia mencapai puncak abad pasca-milenial, pondasi merawat kerukunan beragama adalah nir-egoisme dan tabayun.

Seperangkat teknologi secanggih apapun tak ubahnya seperti sebilah pisau atau sebuah sendok makan. Sebuah gawai dengan beragam menu dan fasilitasnya adalah alat, seperti sendok untuk menyuap nasi, dan sebilah pisau untuk mengiris mangga.

Gara-gara pisau dapur digunakan untuk menusuk orang kita beramai-ramai mengutuk dan menyalahkan pisau—sambil luput menangkap esensi kejahatan dan pelakunya—lalu  memviralkannya lengkap dengan kreativitas meme: “Pisau Haram”, “Buang Semua Pisau Dapurmu!”, “Tenangkan Hatimu, Tak Usah Pisau!” dan seterusnya.

Di zaman serba digital nir-egoisme menemukan urgensinya. Sebelum dikalahkan dan ditaklukkan teknologi, kalahkan dan taklukkan egoisme. Jalan terang akan terbentang. Bertabayun bukanlah sebuah kekalahan yang memalukan. Mengklarifikasi, menimbang, menjelaskan, nggenahno suoro tanpa rupo sesungguhnya sikap manusia yang memiliki martabat dan harga diri.

Manusia mengkhalifahi media sosial untuk memerankan tugasnya di lingkungan masing-masing, bukan dikhalifahi dan dipanglimai media sosial. Pengguna media sosial bukanlah deretan-deretan kode digital yang pasrah digiring, diarahkan, dimobilisasi, di-hoak-hoak-kan, diprovokasi oleh egoisme kapitalisme-materialisme.

Kerukunan beragama merupakan isu tema yang gampang “ditunggangi” oleh siapa saja, bisa tokoh agama, pejabat, anggota DPR, atau mereka yang berkepentingan mengeluarkan “kentut”, membisikkan suoro tanpa rupo, dengan memanfaatkan momentum dan kegamangan egoisme warga digital yang cukup mudah tersulut sikap reaktif dan provokatifnya.

Nabi Ibrahim yang hanya seorang itu disebut Tuhan sebagai wakil dan mewakili segolongan umat. Satu orang yang memikul tugas ngayomi banyak manusia. Dalam “logika” pertemanan media sosial, Nabi Ibrahim memiliki banyak “follower” dan jutaan “pertemanan” yang dipelihara keberlangsungan kemesraan dan keamanan martabat hidupnya.

Nabi Ibrahim berhasil melakukan conditioning terhadap diri dan keluarganya sehingga pantas dan layak dititipi “follower” dan “pertemanan” bahkan persaudaraan umat manusia. Bagaimana dengan kita?

Memiliki follower dan pertemanan dengan jumlah ribuan bukan semata berhenti pada kebanggaan. Sesungguhnya satu orang itu seakan menjadi tuan rumah bagi pengikut dan teman-temannya. Satu orang teman itu juga menjadi tuan rumah bagi kita dan teman-teman lainnya. Demikian seterusnya sehinga satu orang pemilik akun adalah sang tuan rumah yang membuat nyaman, aman, tenang para follower dan tamu-tamu—mengedepankan sikap kritis yang nir-egoisme dan sikap bertabayun saat menyikapi sebuah “kentut”.

Kecuali tuan rumah itu suka mengeluarkan suoro tanpa rupo, kentut diam-diam, lalu hebohlah para tamu dan seisi rumah. []

Jagalan 260816

Achmad Saifullah Syahid (Facebook | Twitter)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun