Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mencermati Momentum Egoisme Berita Bohong

26 Agustus 2016   18:44 Diperbarui: 26 Agustus 2016   19:19 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: http://www.boombastis.com/berita-hoax/26784

Ungkapan menggelitik dari Cak Nun tepat kiranya untuk menuding kegaduhan semua itu: suoro tanpo rupo. Suara tanpa muka. Maksudnya, ada suara tapi tidak tahu, tidak jelas, tidak dijelaskan, tidak perlu menjelaskan, tidak merasa penting untuk menemukan kejelasan—dan sengaja dibiarkan tidak jelas siapa yang bersuara.

Zaman saya kecil itulah suara kentut. Jelas terdengar tapi tidak tahu siapa pelakunya karena si pengentut berpura-pura tidak kentut, menyamarkan diri, lalu sengaja mengelak segala bentuk tudingan, fitnahan, provokasi, hujatan. Saling tuding dan sikap menyalahkan satu sama lain tak dapat dihindari.

“Suoro Tanpa Rupo” Kerukunan Beragama

Maka, sejak manusia belum menemukan kertas dan alat tulis sampai media sosial menjadi pintu masuk segala informasi, bahkan pun kelak dunia mencapai puncak abad pasca-milenial, pondasi merawat kerukunan beragama adalah nir-egoisme dan tabayun.

Seperangkat teknologi secanggih apapun tak ubahnya seperti sebilah pisau atau sebuah sendok makan. Sebuah gawai dengan beragam menu dan fasilitasnya adalah alat, seperti sendok untuk menyuap nasi, dan sebilah pisau untuk mengiris mangga.

Gara-gara pisau dapur digunakan untuk menusuk orang kita beramai-ramai mengutuk dan menyalahkan pisau—sambil luput menangkap esensi kejahatan dan pelakunya—lalu  memviralkannya lengkap dengan kreativitas meme: “Pisau Haram”, “Buang Semua Pisau Dapurmu!”, “Tenangkan Hatimu, Tak Usah Pisau!” dan seterusnya.

Di zaman serba digital nir-egoisme menemukan urgensinya. Sebelum dikalahkan dan ditaklukkan teknologi, kalahkan dan taklukkan egoisme. Jalan terang akan terbentang. Bertabayun bukanlah sebuah kekalahan yang memalukan. Mengklarifikasi, menimbang, menjelaskan, nggenahno suoro tanpa rupo sesungguhnya sikap manusia yang memiliki martabat dan harga diri.

Manusia mengkhalifahi media sosial untuk memerankan tugasnya di lingkungan masing-masing, bukan dikhalifahi dan dipanglimai media sosial. Pengguna media sosial bukanlah deretan-deretan kode digital yang pasrah digiring, diarahkan, dimobilisasi, di-hoak-hoak-kan, diprovokasi oleh egoisme kapitalisme-materialisme.

Kerukunan beragama merupakan isu tema yang gampang “ditunggangi” oleh siapa saja, bisa tokoh agama, pejabat, anggota DPR, atau mereka yang berkepentingan mengeluarkan “kentut”, membisikkan suoro tanpa rupo, dengan memanfaatkan momentum dan kegamangan egoisme warga digital yang cukup mudah tersulut sikap reaktif dan provokatifnya.

Nabi Ibrahim yang hanya seorang itu disebut Tuhan sebagai wakil dan mewakili segolongan umat. Satu orang yang memikul tugas ngayomi banyak manusia. Dalam “logika” pertemanan media sosial, Nabi Ibrahim memiliki banyak “follower” dan jutaan “pertemanan” yang dipelihara keberlangsungan kemesraan dan keamanan martabat hidupnya.

Nabi Ibrahim berhasil melakukan conditioning terhadap diri dan keluarganya sehingga pantas dan layak dititipi “follower” dan “pertemanan” bahkan persaudaraan umat manusia. Bagaimana dengan kita?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun