Ungkapan menggelitik dari Cak Nun tepat kiranya untuk menuding kegaduhan semua itu: suoro tanpo rupo. Suara tanpa muka. Maksudnya, ada suara tapi tidak tahu, tidak jelas, tidak dijelaskan, tidak perlu menjelaskan, tidak merasa penting untuk menemukan kejelasan—dan sengaja dibiarkan tidak jelas siapa yang bersuara.
Zaman saya kecil itulah suara kentut. Jelas terdengar tapi tidak tahu siapa pelakunya karena si pengentut berpura-pura tidak kentut, menyamarkan diri, lalu sengaja mengelak segala bentuk tudingan, fitnahan, provokasi, hujatan. Saling tuding dan sikap menyalahkan satu sama lain tak dapat dihindari.
“Suoro Tanpa Rupo” Kerukunan Beragama
Maka, sejak manusia belum menemukan kertas dan alat tulis sampai media sosial menjadi pintu masuk segala informasi, bahkan pun kelak dunia mencapai puncak abad pasca-milenial, pondasi merawat kerukunan beragama adalah nir-egoisme dan tabayun.
Seperangkat teknologi secanggih apapun tak ubahnya seperti sebilah pisau atau sebuah sendok makan. Sebuah gawai dengan beragam menu dan fasilitasnya adalah alat, seperti sendok untuk menyuap nasi, dan sebilah pisau untuk mengiris mangga.
Gara-gara pisau dapur digunakan untuk menusuk orang kita beramai-ramai mengutuk dan menyalahkan pisau—sambil luput menangkap esensi kejahatan dan pelakunya—lalu memviralkannya lengkap dengan kreativitas meme: “Pisau Haram”, “Buang Semua Pisau Dapurmu!”, “Tenangkan Hatimu, Tak Usah Pisau!” dan seterusnya.
Di zaman serba digital nir-egoisme menemukan urgensinya. Sebelum dikalahkan dan ditaklukkan teknologi, kalahkan dan taklukkan egoisme. Jalan terang akan terbentang. Bertabayun bukanlah sebuah kekalahan yang memalukan. Mengklarifikasi, menimbang, menjelaskan, nggenahno suoro tanpa rupo sesungguhnya sikap manusia yang memiliki martabat dan harga diri.
Manusia mengkhalifahi media sosial untuk memerankan tugasnya di lingkungan masing-masing, bukan dikhalifahi dan dipanglimai media sosial. Pengguna media sosial bukanlah deretan-deretan kode digital yang pasrah digiring, diarahkan, dimobilisasi, di-hoak-hoak-kan, diprovokasi oleh egoisme kapitalisme-materialisme.
Kerukunan beragama merupakan isu tema yang gampang “ditunggangi” oleh siapa saja, bisa tokoh agama, pejabat, anggota DPR, atau mereka yang berkepentingan mengeluarkan “kentut”, membisikkan suoro tanpa rupo, dengan memanfaatkan momentum dan kegamangan egoisme warga digital yang cukup mudah tersulut sikap reaktif dan provokatifnya.
Nabi Ibrahim yang hanya seorang itu disebut Tuhan sebagai wakil dan mewakili segolongan umat. Satu orang yang memikul tugas ngayomi banyak manusia. Dalam “logika” pertemanan media sosial, Nabi Ibrahim memiliki banyak “follower” dan jutaan “pertemanan” yang dipelihara keberlangsungan kemesraan dan keamanan martabat hidupnya.
Nabi Ibrahim berhasil melakukan conditioning terhadap diri dan keluarganya sehingga pantas dan layak dititipi “follower” dan “pertemanan” bahkan persaudaraan umat manusia. Bagaimana dengan kita?