Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Membesarkan Anak dengan Biaya “Pas-pasan”

25 Agustus 2016   20:13 Diperbarui: 26 Agustus 2016   10:33 1035
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: https://blog.duitpintar.com/

Berkah ataukah Bencana?

Bagaimana Indonesia? Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan angka kelahiran meningkat rata-rata 1,49 persen per tahun. Sampai dengan akhir 2015, kelahiran di Indonesia menyentuh angka 4.880.951 bayi.

Meningkatnya rata-rata angka kelahiran itu selain beban juga menjadi berkah. Generasi milenial itu akan menjadi generasi potensial di masa mendatang. Namun dengan satu catatan, pendidikan mereka harus benar-benar terjamin. Jika tidak, angka kelahiran yang besar itu bagai bom waktu saja.

Kembali merujuk pada data BPS, populasi kelas menengah ke atas dengan pendapatan lebih dari lima juta rupiah per bulan di perkotaan mencapai 59 % dari total penduduk di Indonesia. Artinya, secara rasional kelas menengah di perkotaan diperkirakan mampu membiayai anak mereka sampai dewasa.

Ini bukan iming-iming untuk menempati kelas menengah ke atas kita harus berhijrah ke kota. Kebutuhan dan harga hidup di kota besar pasti lebih tinggi daripada di desa. Fokus kita adalah membiayai dan menata masa depan anak. Bukan berbondong-bondong ke kota.

Apalagi proporsi pengeluaran di kota dan desa tidak jauh berbeda. Proporsi pengeluaran 31,3 % masih didominasi kebutuhan makanan, 20,9 % kebutuhan transportasi, kemudian 16,4 % kebutuhan pendidikan, 9,2 % kesehatan, 6,4 % pakaian, dan kebutuhan lainnya 14,2 %.

Modal “Pas-pasan”

Sudahlah. Rasionalitas hitung-hitungan besaran biaya anak-anak sampai dewasa cukup dihitung saja. Selebihnya, kita memelihara niat dan iktikad yang baik lalu direalisasikan dengan bekerja secara jujur dan sungguh-sungguh.

Saya jadi teringat sopir taksi yang pernah diceritakan Cak Nun. Sopir taksi lewat di sebuah gang pada jam tertentu, menit tertentu, detik tertentu—lalu muncullah seseorang dari gang tersebut, melambaikan tangan memanggil taksi itu.

Adegan apakah itu? Bisakah kita atau sopir taksi itu sendiri memperkirakan akan terjadi adegan pemanggilan itu? Bahkan pun ia sopir taksi online akan kita jumpai beragam kemungkinan atau bahkan semacam “misteri” pada momen tertentu saat bertemunya taksi dengan penumpang.

Paling aman adalah menggunakan jurus “pas”. Waktu bayar SPP sekolah anak, “pas” ada "uang. Waktu bayar cicilan, “pas” duit sudah terkumpul. Waktu bayar hutang, “pas” yang nagih lupa. Betul juga kata kawan saya, “Saya membesarkan anak dengan modal “pas-pasan”.[]

Jagalan 250816

  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun