Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Belajar dari “Kegagalan” Pendidikan di Korea Selatan

24 Agustus 2016   17:20 Diperbarui: 25 Agustus 2016   08:41 2647
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Momok CSAT

Kesakralan CSAT itulah yang menyebabkan pendidikan di Korea Selatan digerakkan Hagwon. Belakangan ini salah satu reformasi pendidikan di Korea Selatan adalah mengurangi ketergantungan pada tes. Razia kepada Hagwon yang masih buka di atas jam sepuluh malam dan mendorong perguruan tinggi tidak mengandalkan hasil CSAT merupakan upaya untuk mereformasi pendidikan di Korea Selatan.

Mirip dengan fenomena di Indonesia menjelang Ujian Akhir Nasional, tahlil dan istighosah gencar diselenggarakan, di Korea Selatan rumah ibadah ramai didatangi orangtua dan siswa untuk memanjatkan doa.

Ada irisan kesamaan beberapa fakta pendidikan di Korea Selatan dan Indonesia. Keduanya “memuja” pendidikan berbasis tes dan kompetisi. Namun, entah mengapa Korea Selatan seakan melaju lebih cepat pencapaian teknologi. Siapa tidak kenal Samsung, LG, Hyundai? Perusahaan elektronik dan otomotif itu telah mendunia dan mampu bersaing dengan produk internasional lainnya.

Bagaimana dengan pencapaian bermatematika? Menurut Hazrul Iswadi, Departemen MIPA dan Teknik Industri Ubaya, yang mengikuti kegiatan bidang matematika yaitu Mathematics in Emerging Nations: Achievements and Opportunities(MENAO)Symposium pada tanggal 12 Agustus 2014 dan International Congress of Mathematicians(ICM) 2014 dari tanggal 13 - 21 Agustus 2014 di Seoul Korea Selatan, menyampaikan Korea Selatan memulai segala sesuatu kehidupan berbangsanya, termasuk pendidikan dan khususnya matematika, mulai dari nol pada tahun 1960-an. 

Matematika Sebagai Basis

Perkembangan matematika di Korea Selatan, ungkap Iswadi, dapat kita bandingkan dengan negara-negara barat yang sudah memulai lama sejarah matematika dari sebelum abad ke-19. Hasil pencapaian matematika mereka saat ini sangat mencenggangkan. Mereka sekarang sudah berada dalam grup IV, meloncat dua level dari grup II pada ICM 2010 di India. Mereka sekarang sudah sejajar dengan Australia, Belanda, Spanyol, Swedia, Swiss dan beberapa negara lian di grup IV. Bandingkan dengan Indonesia yang dari tahun 1972 (saat didirikannya Himpunan Matematikawan Indonesia atau Indonesian Mathematical Society - IndoMS) masih berkutat di grup I.

Mengapa Korea Selatan mampu melakukan lompatan yang luar biasa itu? Korea Selatan menjadikan matematika sebagai basis untuk menguatkan industri high-tech. Orang Korea bekerja secara cerdik disertai modal kerja keras penduduk (dan para siswa sekolah sebagai penerus estafet teknologi) untuk belajar matematika, menempuh “jalan pintas” untuk menguasai semikonduktor yang menjadi inti semua peralatan elektronik.

Tulisan ini tidak akan mempanjanglebarkan semua itu. Di balik keberhasilan Korea Selatan melesat dengan industri elektronika dan otomotif, mereka rela “mengorbankan” kebahagiaan para pelajar.

Indonesia? Para siswa memang bahagia saat belajar di sekolah, terutama saat jam kosong di kelas karena para guru sibuk mempersiapkan berkas sertifikasi. []

Jagalan 240816

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun