Kita tentu sepakat, berkaca dan mempelajari sistem pendidikan negara lain tanpa harus menjadi seperti mereka merupakan upaya untuk kembali menemukan jati diri pendidikan kita sendiri. Berkaca pada negara lain untuk kembali menjadi Indonesia.
Beberapa tahun terakhir pendidikan kita pernah dilanda “demam” model pendidikan Finlandia. Berkat sukses mereformasi pendidikan Finlandia menjadi perhatian dan rujukan dunia. Finlandia berhasil menjadi dirinya sendiri. Mereka menyebutnya pendidikan cara Finlandia.
Tidak hanya bercermin dan belajar pada kesuksesan Finlandia, kita perlu berkaca diri pada “kegagalan” negara lain. Sebut saja misalnya Korea Selatan yang “berhasil” menciptakan sistem pendidikan yang menekan siswa. Kapan-kapan kita juga harus belajar kepada Jepang yang “sukses” menjadi negara dengan angka kematian siswa tertinggi di dunia. Pada 2014 WHO merilis data angka kematian anak-anak di Jepang 60 % lebih tinggi daripada rata-rata global.
Belajar Lebih Lama
Bagaimana Indonesia? Siswa di Indonesia masih lumayan gembira mengikuti proses pembelajaran di sekolah dibandingkan dengan siswa di Korea Selatan. Beberapa survei menampilkan data siswa di Korea Selatan mengalami stres akibat sistem belajar yang menekan.
Bagaimana tidak stres, siswa di Korea Selatan rata-rata menghabiskan 12 jam waktunya untuk belajar di sekolah. Bahkan menurut lembaga nirlaba Asunaro lebih dari 70 % siswa Korea Selatan “merasa bersalah” hanya ketika mereka harus rehat dari belajar. Dapat dibayangkan, irama belajar di Korea Selatan bukan hanya cepat melainkan para siswa merasa sedang diburu oleh situasi belajar yang menuntut mereka selalu terjaga.
Direktur Bank Dunia Jim Yong-kim, yang lahir di Korea Selatan, mengatakan bahwa sistem pendidikan di negeri itu menghasilkan beban berat untuk anak-anak. Mereka dipaksa terus fokus pada kompetisi dan kerja dalam waktu yang panjang. (Kompas.com)
Iklim kompetisi dan belajar keras menyisakan beban psikologis. Hal itu tidak pungkiri oleh Jim Yong-Kim yang pindah ke AS saat berusia lima tahun.
Praktis anak-anak Korea Selatan hanya memiliki waktu “longgar” selama 9 jam. Mereka menghabiskan waktu selama 15 jam di sekolah. Kapan mereka istirahat dan tidur? Di kalangan para pelajar itu beredar ungkapan, kalau tidur kurang dari tigajam prospek diterima di perguruan tinggi favorit cukup tinggi. Jika tidur antara empat sampai lima jam akan diterima di perguruan tinggi kelas sedang atau bawah. Bagaimana jika tidur lebih dari lima jam? Kesempatan mengenyam kuliah di perguruan tinggi hanyalah mimpi.
Sebagian besar siswa tidak siap mengakhiri belajar sebelum pukul sepuluh malam. Belum cukup belajar sampai larut, Hagwon sebutan untuk les tambahan atau bimbingan belajar ramai diserbu. Ini bukan sekadar les tambahan pelajaran—Hagwon menjadi ajang pencitraan dan pamer kelas sosial.
Tekanan belajar belum cukup sampai di situ. Siswa SMA harus lulus dari College Scholastic Ability Test (CSAT) agar diterima di perguruan tinggi. Seoul National University, Korea University, dan Yonsei University adalah peguruan tinggi kenamaan yang diincar. “Tiga serangkai” perguruan tinggi itu disingkat SKY. Gagal masuk ke salah satu “SKY”, gagal pula masa depan mereka.
Momok CSAT
Kesakralan CSAT itulah yang menyebabkan pendidikan di Korea Selatan digerakkan Hagwon. Belakangan ini salah satu reformasi pendidikan di Korea Selatan adalah mengurangi ketergantungan pada tes. Razia kepada Hagwon yang masih buka di atas jam sepuluh malam dan mendorong perguruan tinggi tidak mengandalkan hasil CSAT merupakan upaya untuk mereformasi pendidikan di Korea Selatan.
Mirip dengan fenomena di Indonesia menjelang Ujian Akhir Nasional, tahlil dan istighosah gencar diselenggarakan, di Korea Selatan rumah ibadah ramai didatangi orangtua dan siswa untuk memanjatkan doa.
Ada irisan kesamaan beberapa fakta pendidikan di Korea Selatan dan Indonesia. Keduanya “memuja” pendidikan berbasis tes dan kompetisi. Namun, entah mengapa Korea Selatan seakan melaju lebih cepat pencapaian teknologi. Siapa tidak kenal Samsung, LG, Hyundai? Perusahaan elektronik dan otomotif itu telah mendunia dan mampu bersaing dengan produk internasional lainnya.
Bagaimana dengan pencapaian bermatematika? Menurut Hazrul Iswadi, Departemen MIPA dan Teknik Industri Ubaya, yang mengikuti kegiatan bidang matematika yaitu Mathematics in Emerging Nations: Achievements and Opportunities(MENAO)Symposium pada tanggal 12 Agustus 2014 dan International Congress of Mathematicians(ICM) 2014 dari tanggal 13 - 21 Agustus 2014 di Seoul Korea Selatan, menyampaikan Korea Selatan memulai segala sesuatu kehidupan berbangsanya, termasuk pendidikan dan khususnya matematika, mulai dari nol pada tahun 1960-an.
Matematika Sebagai Basis
Perkembangan matematika di Korea Selatan, ungkap Iswadi, dapat kita bandingkan dengan negara-negara barat yang sudah memulai lama sejarah matematika dari sebelum abad ke-19. Hasil pencapaian matematika mereka saat ini sangat mencenggangkan. Mereka sekarang sudah berada dalam grup IV, meloncat dua level dari grup II pada ICM 2010 di India. Mereka sekarang sudah sejajar dengan Australia, Belanda, Spanyol, Swedia, Swiss dan beberapa negara lian di grup IV. Bandingkan dengan Indonesia yang dari tahun 1972 (saat didirikannya Himpunan Matematikawan Indonesia atau Indonesian Mathematical Society - IndoMS) masih berkutat di grup I.
Mengapa Korea Selatan mampu melakukan lompatan yang luar biasa itu? Korea Selatan menjadikan matematika sebagai basis untuk menguatkan industri high-tech. Orang Korea bekerja secara cerdik disertai modal kerja keras penduduk (dan para siswa sekolah sebagai penerus estafet teknologi) untuk belajar matematika, menempuh “jalan pintas” untuk menguasai semikonduktor yang menjadi inti semua peralatan elektronik.
Tulisan ini tidak akan mempanjanglebarkan semua itu. Di balik keberhasilan Korea Selatan melesat dengan industri elektronika dan otomotif, mereka rela “mengorbankan” kebahagiaan para pelajar.
Indonesia? Para siswa memang bahagia saat belajar di sekolah, terutama saat jam kosong di kelas karena para guru sibuk mempersiapkan berkas sertifikasi. []
Jagalan 240816
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H