Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bagaimana Sekolah Menghadapi Generasi Milenial?

22 Agustus 2016   11:03 Diperbarui: 22 Agustus 2016   19:48 1569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah disadari atau tidak, sekolah sedang dibanjiri oleh para generasi milenial. Mereka yang lahir di atas tahun 1980 memiliki sikap dan cara berpikir yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Pew Research Centredalam salah satu risetnya menyebut generasi milenial sebagai generasi yang percaya diri, ekspresif, liberal, bersemangat, dan terbuka pada tantangan.

Berdasarkan survei Connecting with the Millennials yang dilakukan Visa pada 2011, diperkirakan Indonesia memiliki 5,1 juta penduduk milenial. Saat ini generasi milenial sedang bergerak menguasai angkatan kerja. Pada 2014 diperkirakan generasi milenial menguasi 45 % pasaran dunia kerja. Akan terus meningkat jumlahnya pada tahun-tahun mendatang.

Dapat dipastikan, selain mereka yang memadati ruang-ruang kebutuhan dunia kerja, saat ini generasi milenial sedang memenuhi ruang-ruang kelas pembelajaran di sekolah. Mereka adalah generasi yang 75 persen aktif di media sosial. Adapun generasi sebelumnya yang berumur 30 sampai 45 tahun hanya sekitar 50 persen yang memiliki media sosial.

Sekolah menjadi lingkungan pembelajaran yang mempertemukan dua generasi berbeda. Mereka adalah Generasi X, lahir tahun 1965 – 1980 dan Generasi Milenial, lahir setelah tahun 1980. Dua generasi yang hampir berbeda dalam segala hal, termasuk memandang dunia maya.

Dunia maya dan media sosial menjadi dunia yang mengasyikkan bagi generasi milenial. Dunia maya bukanlah dunia 'maya'—ia hadir sebagai dunia 'nyata'. Berbeda dengan Generasi X dan generasi sebelumnya yang masih beranggapan dunia maya adalah dunia yang benar-benar 'maya'. Dunia maya dipandang dengan 'sikap curiga' dan 'penuh waspada', kadang dengan takaran berlebihan.

Dua arus perbedaan generasi itu lantas bertemu dalam satu ruang pembelajaran, menjalin interaksi komunikasi, menggagas ide-ide pembelajaran. Bisa dibayangkan, 'benturan kebudayaan' tak bisa dihindarkan.

'Benturan' itu telah terjadi di perusahaan-perusahaan. Generasi milenial dinilai memiliki etos kerja yang buruk. Universitas Bentley melakukan survei terkait etos kerja, hasilnya 66 persen menyatakan mereka susah diatur. Adapun untuk sikap kerja 51 persen responden menyatakan generasi milenial kurang memiliki rasa hormat kepada kolega.

Bagaimana generasi milenial menanggapi pengalaman itu? Dari survei yang sama, 66 persen mereka merasa disalahpahami oleh para seniornya.

Walaupun semua itu berlangsung dalam dunia kerja di perusahaan, sekolah tidak boleh merasa aman dan bersikap tenang-tenang saja. Justru hasil survei tersebut menunjukkan fakta bahwa sekolah sedang berhadapan dengan generasi yang sama sekali berbeda. Guru dan warga sekolah perlu mempelajari karakter siswa generasi milenial untuk menghindari benturan atau konflik.

Tenaga pengajar di sekolah yang didominasi oleh Generasi X—dengan berbagai latar pengalaman budaya yang berbeda, dengan minimnya penguasaan teknologi, dengan cara berpikir yang kalah cepat dalam merespon laju perkembangan arus informasi dan teknologi dibanding generasi milenial, dengan pola pendidikan yang kerap terjebak dalam kurungan mainstream dan miskin inovasi—mereka bukan hanya akan menjadi sosok pendidik yang menjemukan, bahkan dikhawatirkan mereka menghambat tumbuhnya potensi siswa.

Tidak sedikit guru dan orangtua justru mengeluhkan perilaku anak-anak generasi milenial. Mereka kerap dituding sebagai generasi yang manja, motivasi belajar yang rendah, sampai terlalu banyak menghabiskan waktu di depan televisi atau ponsel pintar. Labeling negatif disematkan. Mereka adalah generasi galau, labil, tidak konsisten. Pasalnya, anak-anak itu sering tidak betah berdiam di suatu tempat dalam rentang waktu cukup lama serta sering berpindah-pindah hobi.

Keluhan guru dan orangtua tidak sepenuhnya salah juga tidak seluruhnya benar. Bruce Tulgan, konsultan dan penulis buku It's Okay to Manage Your Boss, mengingatkan, "Generasi Milenial akan memerlukan pengawasan paling tinggi dalam sejarah dunia. Namun, mereka juga bisa menjadi generasi paling hebat dalam dunia kerja."

Bagaimana sikap yang tepat menghadapi generasi milenial ini? Sekolah, guru, dan orang tua hendaknya tidak terjebak pada formalisme kuantitas berapa lama mereka harus belajar. Siswa generasi milenial tidak harus mengulang pengalaman belajar Generasi X, duduk mulai pagi sampai siang dalam kelas.

Sebagai penduduk asli dunia digital anak-anak dan para siswa menggenggam informasi di genggaman tangannya melalui gawai atau telepon pintar. Artinya, kesempatan mereka belajar tidak melulu dalam kelas. Di kafe atau ruang publik yang memiliki titik hotspot adalah 'sekolah kedua'.

Hal itu bereda dengan Generasi X yang dijuluki sebagai digital immigrants, warga pendatang dunia digital. Generasi ini tidak bisa memaksakan gaya belajarnya kepada generasi milenial.

Lantas apa yang dibutuhkan oleh generasi milenial dalam proses pembelajaran? Selain pengawasan yang proporsional mereka tetap manusia yang membutuhkan feedback, perhatian, dan penghargaan dari guru dan orangtua. Generasi digital adalah pembelajar otodidak yang tangguh. Putri seorang kawan yang kini belajar di SMA bahkan secara tegas menyatakan, “Aku tidak butuh sekolah, karena aku punya Google.” Bukan sekadar kata-kata, anak itu membuktikan ia menguasai Bahasa Jerman dengan belajar secara online. Sikap apresiatif guru dan orang tua sungguh diperlukan.

Maka, dalam suasana pembelajaran anak-anak itu memerlukan tujuan yang jelas. Mengapa mereka mempelajari tema tertentu dan untuk apa tema itu dipelajari. Makna belajar harus dipetakan. Di tengah beragam informasi yang cukup mudah diakses, menentukan tujuan dan makna belajar menemukan urgensinya. Siswa generasi milenial tidak sekadar belajar—mereka memerlukan tujuan dan makna belajar yang pasti.

Interaksi sosial dalam dunia digital yang egaliter, cair, tidak bossy mewarnai interaksi sosial mereka di dunia nyata. Dalam kadar dan peran tertentu guru dan orang tua tidak selalu berposisi sebagai 'atasan' dengan perintah dan instruksi yang wajib dituruti. Generasi milenial, siswa milenial, anak-anak milenial memerlukan figur guru dan orangtua yang care, gemar berdiskusi, memberi bimbingan dalam komunikasi yang sejajar, dan menularkan nasehat yang tidak menggurui.

Apa boleh buat. Telah hadir di antara kita generasi milenial, generasi yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, penghuni abad masa depan. Entah apa yang terjadi jika sekolah masih bertahan pada 'maqamnya' sebagai Generasi X, atau bahkan generasi sebelumnya: Generasi Baby Boomer (1946-1964) atau Generasi Diam (1928-1945). Kita memerlukan sekolah milenial.[]

Jagalan 220816

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun