Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bagaimana Sekolah Menghadapi Generasi Milenial?

22 Agustus 2016   11:03 Diperbarui: 22 Agustus 2016   19:48 1569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keluhan guru dan orangtua tidak sepenuhnya salah juga tidak seluruhnya benar. Bruce Tulgan, konsultan dan penulis buku It's Okay to Manage Your Boss, mengingatkan, "Generasi Milenial akan memerlukan pengawasan paling tinggi dalam sejarah dunia. Namun, mereka juga bisa menjadi generasi paling hebat dalam dunia kerja."

Bagaimana sikap yang tepat menghadapi generasi milenial ini? Sekolah, guru, dan orang tua hendaknya tidak terjebak pada formalisme kuantitas berapa lama mereka harus belajar. Siswa generasi milenial tidak harus mengulang pengalaman belajar Generasi X, duduk mulai pagi sampai siang dalam kelas.

Sebagai penduduk asli dunia digital anak-anak dan para siswa menggenggam informasi di genggaman tangannya melalui gawai atau telepon pintar. Artinya, kesempatan mereka belajar tidak melulu dalam kelas. Di kafe atau ruang publik yang memiliki titik hotspot adalah 'sekolah kedua'.

Hal itu bereda dengan Generasi X yang dijuluki sebagai digital immigrants, warga pendatang dunia digital. Generasi ini tidak bisa memaksakan gaya belajarnya kepada generasi milenial.

Lantas apa yang dibutuhkan oleh generasi milenial dalam proses pembelajaran? Selain pengawasan yang proporsional mereka tetap manusia yang membutuhkan feedback, perhatian, dan penghargaan dari guru dan orangtua. Generasi digital adalah pembelajar otodidak yang tangguh. Putri seorang kawan yang kini belajar di SMA bahkan secara tegas menyatakan, “Aku tidak butuh sekolah, karena aku punya Google.” Bukan sekadar kata-kata, anak itu membuktikan ia menguasai Bahasa Jerman dengan belajar secara online. Sikap apresiatif guru dan orang tua sungguh diperlukan.

Maka, dalam suasana pembelajaran anak-anak itu memerlukan tujuan yang jelas. Mengapa mereka mempelajari tema tertentu dan untuk apa tema itu dipelajari. Makna belajar harus dipetakan. Di tengah beragam informasi yang cukup mudah diakses, menentukan tujuan dan makna belajar menemukan urgensinya. Siswa generasi milenial tidak sekadar belajar—mereka memerlukan tujuan dan makna belajar yang pasti.

Interaksi sosial dalam dunia digital yang egaliter, cair, tidak bossy mewarnai interaksi sosial mereka di dunia nyata. Dalam kadar dan peran tertentu guru dan orang tua tidak selalu berposisi sebagai 'atasan' dengan perintah dan instruksi yang wajib dituruti. Generasi milenial, siswa milenial, anak-anak milenial memerlukan figur guru dan orangtua yang care, gemar berdiskusi, memberi bimbingan dalam komunikasi yang sejajar, dan menularkan nasehat yang tidak menggurui.

Apa boleh buat. Telah hadir di antara kita generasi milenial, generasi yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, penghuni abad masa depan. Entah apa yang terjadi jika sekolah masih bertahan pada 'maqamnya' sebagai Generasi X, atau bahkan generasi sebelumnya: Generasi Baby Boomer (1946-1964) atau Generasi Diam (1928-1945). Kita memerlukan sekolah milenial.[]

Jagalan 220816

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun