Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Firaun dan Gawat Darurat Literasi

21 Agustus 2016   00:56 Diperbarui: 21 Agustus 2016   12:47 622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: http://grand-education.blogspot.co.id/2014/10/peradaban-mesir-kuno-part-2.html

Sebelum gerakan literasi marak seperti sekarang, pada tahun 2002 saya pernah mengajar mata pelajaran yang cukup asing di kalangan guru dan orangtua: Quantum Writing. Nama pelajaran yang cukup keren dan kerap menimbulkan tanya. Quantum Writing—mata pelajaran untuk memancing dan memicu keterampilan menulis untuk siswa sekolah dasar. Pesertanya adalah siswa kelas empat sampai kelas enam.

Waktu itu Quantum Writing (QW) disediakan jam tersendiri, tidak mengikuti jam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Pertimbangannya adalah QW benar-benar fokus pada keterampilan menulis, menuangkan ide, gagasan, perasaan, pikiran dalam bentuk tulisan. Bentuk tulisannya bebas, bisa puisi, cerita pendek, atau apapun bentuknya yang penting siswa terampil dan terasah keterampilan menulisnya.

Sebuah majalah berisi karya tulis siswa—kumpulan tulisan dalam pelajaran QW—berhasil  diterbitkan. Isinya gado-gado, bahkan beberapa tulisan tidak harus dikategorikan dalam bentuk yang pakem lazimnya sebuah karya tulis. Meminjam ungkapan Hernowo, karya tulis itu hasil dari kegiatan menulis secara bebas. Percepatan kemampuan menulis anak-anak dalam taraf tertentu cukup mengagumkan.

Sayangnya, majalah 'gado-gado' bertahan terbit selama dua tahun. Sekolah menghentikan pelajaran QW. Siswa kembali belajar menulis secara normal melalui mata pelajaran Bahasa Indonesia.

Dari pengalaman mengampu mata pelajaran QW selama dua tahun saya menemukan korelasi yang sangat kuat antara keterampilan menulis dengan kebutuhan membaca. Waktu itu saya tidak melakukan kampanye gerakan membaca terlebih dahulu. Saya ajak anak-anak langsung berlatih menulis walaupun dengan tahapan yang saya sesuaikan dengan kondisi kemampuan mereka. Ringkasnya, menulis dahulu baru membaca.

Apa pengaruhnya kepada siswa? Di tahap awal berlatih menulis mereka merasa nyaman. Pengalaman berangkat sekolah, acara berlibur, peringatan ulang tahun, pokoknya materi keseharian menjadi bahan yang menarik dan cukup mudah bagi anak-anak untuk dituangkan dalam tulisan.

Sering waktu berjalan, anak-anak merasakan bahan tulisannya semakin menipis. Mereka ingin menulis tentang 'sesuatu' yang lain di luar pengalaman keseharian. Saya biarkan sampai anak-anak merasa sudah tidak ada lagi bahan yang menarik untuk ditulis. Padahal setiap pelajaran QW mereka harus menulis dan menghasilkan karya.

Nah, ketika anak-anak 'menyerah' inilah saat yang tepat untuk mengajak mereka membaca buku. Selain beragam pengalaman keseharian, membaca buku akan membentuk ragam pengalaman yang tak kalah dahsyat. Mulailah saya menantang mereka agar rajin membaca buku. Tidak susah membuat anak-anak keranjingan buku karena kebutuhan membaca sudah terbentuk sebelumnya. Pada kasus pelajaran QW mereka butuh membaca agar tidak kehabisan bahan untuk menulis.

Kegiatan menulis terus berjalan, anak-anak pun mulai keranjingan membaca. Mereka mulai berani menulis tema di luar pengalaman keseharian. Didukung oleh imajinasi yang masih lepas bebas dan diperkuat oleh dunia imajinasi hasil membaca, tulisan mereka lambat laun temanya makin beragam dan berbobot.

Pada tahap ini, saya mulai mencermati ungkapan-ungkapan yang dituangkan dalam kalimat, pilihan kata (diksi), tanda baca, dan beberapa aturan perangkat bahasa lainnya. Bukan hanya itu, saya juga mulai menyodorkan bahan untuk selanjutnya diolah dalam tulisan misalnya, “Seandainya kamu bertemu Firaun, apa yang akan kamu lakukan?” atau, “Seandainya kamu bisa berbicara dengan binatang, apa yang akan kamu bicarakan?” Selain memancing mereka dengan 'umpan seandainya', kadang saya meminta mereka menulis tentang Tongkat Nabi Musa, Mendarat di Bulan, Menolong Pengemis.

Walaupun usia QW cukup singkat, manfaat pelajaran menulis dirasakan oleh beberapa guru mata pelajaran lain. Ketika siswa menjawab pertanyaan esai, kalimat mereka lebih tertata dan jelas gagasannya. Tidak pendek-pendek seperti sebelumnya.

Kini, anak-anak itu sudah menjadi mahasiswa di berbagai perguruan tinggi. Sesekali saya sempat terhubung dengan mereka. Tulisan yang dimuat di majalah beberapa tahun yang lalu, saat mereka belajar di sekolah dasar, katanya, adalah kenangan paling indah sekaligus pengalaman membanggakan.

Gawat Darurat Literasi
Kenangan bersama anak-anak itu tiba-tiba ambyar. Hadir di depan saya sebuah fakta yang merilis data bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked, menunjukkan perilaku literasi dan sumber daya yang mendukung mereka seperti jumlah perpustakaan dan pembacaan surat kabar, menempatkan Indonesia di peringkat ke 60 dari total 61 negara.

Bagaimana dengan angka buta huruf di Indonesia? Berdasarkan data Pusat Data dan Statistik Kemendikbud tahun 2015, angka buta huruf di Indonesia mencapai 5.984.075 orang. Jumlah yang tergolong tinggi. Tersebar di enam provinsi meliputi Jawa Timur 1.258.184 orang, Jawa Tengah 943.683 orang, Jawa Barat 604.683 orang, Papua 584.441 orang, Sulawesi Selatan 375.221 orang, Nusa Tenggara Barat 315.258 orang.

Cukup memprihatinkan bukan? Literasi nampaknya belum menemukan kemerdekaannya. Membaca masih terkesan sebagai kegiatan yang elite dan hanya dilakukan oleh kaum terpelajar. Padahal kaum terpelajar pun belum sepenuhnya memiliki habituasi membaca yang baik.

Orang lebih memilih membelanjakan uang untuk membeli pulsa daripada buku. Spontan mengeluarkan uang limapuluh ribu rupiah untuk pulsa rasanya tidak eman. Sementara uang empatpuluh ribu rupiah untuk membeli buku harus berpikir selama berjam-jam dan akhirnya urung juga.

Dalam berperilaku seperti itu kita perlu merasa 'malu' pada Firaun. Orang yang merasa kekuasaannya sudah sepadan dengan kekuasaan Tuhan itu, menurut Francis Bacon, seorang filsuf asal Inggris, ternyata tidak mengandalkan kekuatan militer semata. Fira’un membangun kekuasannya dengan 'pengetahuan' dan buku, yang terkumpul dalam perpustakaan pribadi sejumlah 20.000 koleksi buku.

Kita tidak perlu mencemaskan ujaran novelis asal Republik Ceko, Milan Kundera, bahwa untuk menghancurkan peradaban sebuah bangsa, hancurkan saja buku-bukunya. Apa yang mau dihancurkan jika ternyata kita sendiri sedang menghadapai situasi Gawat Darurat Literasi Indonesia. []

Jagalan 210816

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun