Kini, anak-anak itu sudah menjadi mahasiswa di berbagai perguruan tinggi. Sesekali saya sempat terhubung dengan mereka. Tulisan yang dimuat di majalah beberapa tahun yang lalu, saat mereka belajar di sekolah dasar, katanya, adalah kenangan paling indah sekaligus pengalaman membanggakan.
Gawat Darurat Literasi
Kenangan bersama anak-anak itu tiba-tiba ambyar. Hadir di depan saya sebuah fakta yang merilis data bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked, menunjukkan perilaku literasi dan sumber daya yang mendukung mereka seperti jumlah perpustakaan dan pembacaan surat kabar, menempatkan Indonesia di peringkat ke 60 dari total 61 negara.
Bagaimana dengan angka buta huruf di Indonesia? Berdasarkan data Pusat Data dan Statistik Kemendikbud tahun 2015, angka buta huruf di Indonesia mencapai 5.984.075 orang. Jumlah yang tergolong tinggi. Tersebar di enam provinsi meliputi Jawa Timur 1.258.184 orang, Jawa Tengah 943.683 orang, Jawa Barat 604.683 orang, Papua 584.441 orang, Sulawesi Selatan 375.221 orang, Nusa Tenggara Barat 315.258 orang.
Cukup memprihatinkan bukan? Literasi nampaknya belum menemukan kemerdekaannya. Membaca masih terkesan sebagai kegiatan yang elite dan hanya dilakukan oleh kaum terpelajar. Padahal kaum terpelajar pun belum sepenuhnya memiliki habituasi membaca yang baik.
Orang lebih memilih membelanjakan uang untuk membeli pulsa daripada buku. Spontan mengeluarkan uang limapuluh ribu rupiah untuk pulsa rasanya tidak eman. Sementara uang empatpuluh ribu rupiah untuk membeli buku harus berpikir selama berjam-jam dan akhirnya urung juga.
Dalam berperilaku seperti itu kita perlu merasa 'malu' pada Firaun. Orang yang merasa kekuasaannya sudah sepadan dengan kekuasaan Tuhan itu, menurut Francis Bacon, seorang filsuf asal Inggris, ternyata tidak mengandalkan kekuatan militer semata. Fira’un membangun kekuasannya dengan 'pengetahuan' dan buku, yang terkumpul dalam perpustakaan pribadi sejumlah 20.000 koleksi buku.
Kita tidak perlu mencemaskan ujaran novelis asal Republik Ceko, Milan Kundera, bahwa untuk menghancurkan peradaban sebuah bangsa, hancurkan saja buku-bukunya. Apa yang mau dihancurkan jika ternyata kita sendiri sedang menghadapai situasi Gawat Darurat Literasi Indonesia. []
Jagalan 210816
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H