Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dunia Maya, Sampai Kapan Kita Menyebutnya Maya?

17 Agustus 2016   17:51 Diperbarui: 17 Agustus 2016   17:55 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dunia Maya | Ilustrasi: http://www.bekasiurbancity.com/dunia-maya-yang-kian-menyerupai-dunia-nyata/

Padahal yang kita sebut maya itu cukup menguasai, menuntun, memengaruhi, mewarnai, memobilisasi gerak pikiran dan warna batin kita sehingga koneksinya menggerakkan praksis perilaku kita di dunia nyata. “Sesuatu” yang hadir begitu nyata dalam alam pikiran dan perasaan masihkan berstatus maya?

Jika demikian adakah alam nyata dan benar-benar nyata tersisa dalam hidup kita? Pertanyaan versi lain, jika yang benar-benar nyata saja di-maya-kan, realitas nyata seperti apa yang kita terima sebagai yang benar-benar nyata?

Materialisme sedang mengalami evolusi. Kulit arinya mengelupas. “Sampah” digital menjadi katalisatornya. Manusia akan semakin materialistis karena yang “sekadar materi” telah terserap ke dalam kemayaan. Kini, manusia berburu materi yang lebih dari “sekadar” itu. Ia akan menancapkan kuat-kuat materi ke dalam jantung hidup kita. Karena yang benar-benar materi terseret ke arus dunia maya, maka tidak ada sikap lain kecuali menambah bobot materialisme dalam sikap dan cara berpikirnya.

Siang malam, pagi sore, kita berinteraksi dengan gawai sebagai pintu masuk menuju dunia maya. Arus informasi bagai hujan lebat, menjadi kenyataan sikap berpikir, alam batin, warna perilaku, model budaya kita. Terputus sejenak saja kita sontak kelimpungan. Dunia serasa kiamat.

“Ah, kiamat, saya tidak percaya kiamat!” tiba-tiba teman saya bersuara. “Saya tidak percaya hari kiamat sudah dekat, karena saya tidak percaya hari kiamat itu ada. Hidup ini terlalu indah dan mewah untuk dipenggal dengan sebuah kiamat. Paham?!”*

Maaf, pembaca. Kadang tamu saya suka berpikir aneh. []

*) Cerpen “Mbah Mahdi dan Cerita Pagi Itu”, oleh Indra Tranggono (cerpen.print.kompas.com)

Jagalan 170816

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun