Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dunia Maya, Sampai Kapan Kita Menyebutnya Maya?

17 Agustus 2016   17:51 Diperbarui: 17 Agustus 2016   17:55 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dunia Maya | Ilustrasi: http://www.bekasiurbancity.com/dunia-maya-yang-kian-menyerupai-dunia-nyata/

“Gusti Pengeran! Jengkel HP saya error sejak dua hari lalu!”

Saya tertawa lagi. Lebih keras.

“Lihat, kamu tertawa-tawa begitu karena senang melihat saya menderita. Iya kan?”

“Jadi kamu dibuat menderita oleh HP error?”

“Sangat, sangat menderita. Pekerjaan terbengkalai. Email tidak terbaca. Koordinasi dengan teman-teman putus seketika. File yang mestinya terkirim jadi tidak jelas kapan dikirim. Saya benar-benar linglung. Tidak tahu harus berbuat apa.”

Semoga apa yang terjadi pada kawan saya bukan sejenis social media anxiety disorder. Gangguang kecemasan akibat terlalu lekat dengan gawai yang menimbulkan dampak psikis kepada pelakunya.

Seorang praktisi meditasi, Adji Silarus, menyarankan agar kita puasa gawai sedikitnya dua hari untuk mendetoksifikasi “racun-racun” digital dalam diri. Mendaur ulang sampah-sampah dari dunia maya. Terlalu lekat dengan gawai, menurut Aji, akan mendistraksi kita dari aktivitas harian yang sedang kita kerjakan di dunia nyata. Tidak sedikit kasus seseorang merasa kesepian dan tidak puas dengan dirinya akibat terlalu aktif di media sosial. Ia pun kehilangan dirinya yang otentik.

Apabila dihubungkan dengan semangat kemerdekaan RI, diam-diam kita sedang “dijajah” oleh pasukan dari dunia maya. Sedikit-sedikit lihat HP. Sedikit-sedikit baca WA. Sedikit-sedikit ngecek email. Hanya sedikit, hanya sekilas, tapi selalu berulang tidak lebih dari semenit.

Menjalani hidup, bertatap muka dengan kawan, mengikuti rapat, menerima tamu cukup kita hadirkan sebagian dari kesadaran kita, sedangkan sebagian dari kesadaran yang lain mengintip-intip, mencuri-curi, melihat sekilas-sekilas kehidupan di dunia maya.  

Dunia maya, mengapa kita menyebutnya maya? Barangkali “realitas” yang terjadi di dunia maya itu tidak benar-benar ada ataukah kita menatap dunia “maya” itu melalui layar HP sehingga ia pantas disebut maya ataukah dunia “maya” itu merupakan gambaran dari gagasan yang terbentuk oleh gelombang otak yang mustahil dilihat secara kasat mata ataukah kita sedang mengalami kerancuan, split, sehingga terjadi tumpang tindih apa nyata apa maya?

Yang nyata di-maya-kan, yang maya di-nyata-kan. Yang nyata-nyata sebagai baju dan melekat di badan, di-maya-kan sebagai seolah-olah bahkan diterima sebagai bukan baju. Yang seolah-olah baju dan hadir sebagai “bayangan” baju, di-nyata-kan sebagai benar-benar baju.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun