Beberapa hari lalu saya ditinggal pergi selamanya oleh sahabat saya, seorang penjaga malam di sekolah mewah. Walaupun jarak usia kami sangat berjauhan, sahabat saya menjalani hidup selama enam puluh tahun, dia tetap memiliki sikap dan gaya berpikir yang progresif layaknya anak muda.
Berbincang-bincang bersamanya dengan beragam tema, mulai batu mulia, keris, sejarah para ulama, kesurupan makhluk halus, sampai isu perpolitikan mutakhir, terasa asyik dan selalu menemukan view berpikir yang tidak lazim alias keluar dari arus utama.
Sahabat saya pernah bercerita, suatu pagi ia akan menikmati sarapan nasi rawon. Ini menu sungguh spesial mengingat sangat jarang ia sarapan dengan menu istimewa itu. Nasi rawon belum disentuh, di halaman rumahnya berdiri nenek tua yang mengaku sedang lapar. Sahabat saya menunda sarapannya. Diajaknya nenek masuk ke ruang tamu. Disodorkannya nasi rawon itu kepada nenek.
“Bukan karena saya tidak tega pada nenek itu,” katanya. “Saya beli nasi rawon karena sedang kepingin sarapan yang agak spesial. Namun nenek itu mengalami lebih dari rasa kepingin—ia sedang lapar.”
Pengalaman sahabat saya mungkin jamak dilakoni oleh orang lain. Namun, pengalaman itu sebuah pembelajaran sekaligus pukulan cukup telak, terutama kepada saya, bahwa keadaan sahabat yang hidupnya serba ngepas itu tidak menghalanginya untuk berbagi dengan orang lain.
Apalagi ia sedang amat kepingin sarapan nasi rawon lalu merelakannya untuk dinikmati oleh nenek yang sedang sangat lapar itu. Sedangkan kesanggupan kita berbagi kadang masih pada taraf kesadaran, “barang” atau “sesuatu” yang hendak diberikan sudah tidak kita butuhkan lagi. Kita sudah tidak menginginkan barang-barang itu lagi. Ia layak disumbangkan.
Tanpa sadar kita sering didikte oleh keinginan-keinginan. Satu keinginan belum tercapai, muncul keinginan berikutnya, demikian seterusnya sampai kita berburu tunggang langgang mengejar keinginan. Padahal ketika satu keinginan tercapai, dipastikan keinginan berikutnya akan muncul menyertainya. Keinginan baru yang menyertai setiap keinginan yang telah terpenuhi lama-lama akan terasa sebagai sebuah kebutuhan yang wajib dipenuhi.
Apabila keinginan baru yang menjelma menjadi kebutuhan itu belum atau tidak tercapai, kita merasa jengkel, gagal, dan murung. Kita lupa dengan hasil capaian sebelumya karena fokus pada keinginan baru sebagai tuntutan dari keinginan yang sudah terpenuhi itu. Kita belum sempat bersyukur dan menikmatinya. Pikiran sudah harus fokus kembali untuk memenuhi tuntutan keinginan yang baru.
Alangkah sengsara hidup seperti itu walaupun kita memiliki kecukupan dan keberlimpahan harta. Apa yang sudah kita miliki menjadi tidak berarti. Kata para sesepuh Jawa, sugih nanging melarat. Kaya tapi miskin. Hidupnya berkelimpahan harta tapi selalu merasa kurang sehingga harus mengejar keinginan-keinginan berikutnya. Di saat yang sama, apa yang sudah berhasil dicapainya, ditinggal begitu saja, tanpa disyukuri.
Sikap hidup berburu bayangan itu akan sangat merugikan pelakunya. Rugi bukan karena ia akan kehilangan hartanya. Bisa jadi kekayaannya semakin bertambah dan bertumpuk-tumpuk. Kekuasaan menggurita. Namun semua itu diraih dengan cara mengorbankan harga diri di depan manusia dan di hadapan Tuhan. Ia merelakan harga diri dan martabat kemanusiaan hilang demi menebus kecemasan dan kekhawatiran terhadap raibnya kekayaan dan kekuasaan.
Lenyapnya harga diri dan martabat bukan selalu berlaku pada skala yang luas. Dalam lingkungan pergaulan sehari-hari, organisasi kecil, lembaga, komunitas, perilaku pupusnya harga diri dan martabat seseorang cukup kentara, terutama ketika ia memainkan posisi “aman” untuk melanggengkan pengaruh atau kekuasaan dan menjaga aliran kekayaan yang masuk ke celengan pribadi.
Idealisme manusia tanpa martabat dan harga diri itu adalah idealisme kepentingan pribadi. Kebenaran diartikan secara egosentris menurut kesempitan aspirasi dan keinginannya. Ia sama sekali tidak keberatan untuk menjadi “tempe” lalu satu jam kemudian berubah menjadi “dele (kedelai)”.
Lalu apa hubungan semua itu dengan judul tulisan ini: Menanggalkan Sandang, Berburu Pangan, Membangun Papan? Barangkali karena situasi sangat mendesak kita rela tidak makan berhari-hari. Rumah tergusur. Namun jangan sampai kita kehilangan sandang—hidup telanjang, tanpa harga diri dan martabat kemanusiaan. Sama sekali kita tidak rela hidup tanpa aurat kemanusiaan, tanpa martabat di hadapan manusia, tanpa derajat di hadapan Tuhan.
Sandang, bukan sekadar selembar baju dan celana. Ia adalah simbol keteguhan sikap bahwa hidup bukan semata-mata memenuhi perut dengan aneka panganan dan membangun papan, tempat tinggal yang mewah. Kesadaran sandang, pangan, papan adalah kesadaran filosofis mbah buyut yang menetes ketika zaman belum ribut dan ribet oleh gadget, dunia maya, media sosial dan sejumlah pencapaian peradaban yang mengklaim dirinya maju dan modern.
Kesadaran hidup manusia-manusia kuno yang kita tidak lebih cerdas dan bijaksana dari mereka hanya karena kita hidup di zaman yang serba digital ini.
Menjalani hidup tanpa martabat dan harga diri tak ubahnya mengenakan pakaian yang bolong-bolong. Aurat kemanusiaan telanjang. Dalam skala kehidupan yang lebih luas, semua manusia bercita-cita memenangkan pertarungan untuk memperebutkan pangan dan mendirikan papan mewah dengan menanggalkan sandang harga diri dan martabat. Semakin bolong dan semakin ditanggalkan akan semakin canggih dan beradab.
Mungkin kenyataannya tidak seseram itu. Atau saya sedang menikmati efek subyektifisme setelah ditinggal pergi oleh sahabat saya. Mungkin. []
Jagalan 130816
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H