Idealisme manusia tanpa martabat dan harga diri itu adalah idealisme kepentingan pribadi. Kebenaran diartikan secara egosentris menurut kesempitan aspirasi dan keinginannya. Ia sama sekali tidak keberatan untuk menjadi “tempe” lalu satu jam kemudian berubah menjadi “dele (kedelai)”.
Lalu apa hubungan semua itu dengan judul tulisan ini: Menanggalkan Sandang, Berburu Pangan, Membangun Papan? Barangkali karena situasi sangat mendesak kita rela tidak makan berhari-hari. Rumah tergusur. Namun jangan sampai kita kehilangan sandang—hidup telanjang, tanpa harga diri dan martabat kemanusiaan. Sama sekali kita tidak rela hidup tanpa aurat kemanusiaan, tanpa martabat di hadapan manusia, tanpa derajat di hadapan Tuhan.
Sandang, bukan sekadar selembar baju dan celana. Ia adalah simbol keteguhan sikap bahwa hidup bukan semata-mata memenuhi perut dengan aneka panganan dan membangun papan, tempat tinggal yang mewah. Kesadaran sandang, pangan, papan adalah kesadaran filosofis mbah buyut yang menetes ketika zaman belum ribut dan ribet oleh gadget, dunia maya, media sosial dan sejumlah pencapaian peradaban yang mengklaim dirinya maju dan modern.
Kesadaran hidup manusia-manusia kuno yang kita tidak lebih cerdas dan bijaksana dari mereka hanya karena kita hidup di zaman yang serba digital ini.
Menjalani hidup tanpa martabat dan harga diri tak ubahnya mengenakan pakaian yang bolong-bolong. Aurat kemanusiaan telanjang. Dalam skala kehidupan yang lebih luas, semua manusia bercita-cita memenangkan pertarungan untuk memperebutkan pangan dan mendirikan papan mewah dengan menanggalkan sandang harga diri dan martabat. Semakin bolong dan semakin ditanggalkan akan semakin canggih dan beradab.
Mungkin kenyataannya tidak seseram itu. Atau saya sedang menikmati efek subyektifisme setelah ditinggal pergi oleh sahabat saya. Mungkin. []
Jagalan 130816
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H