Mami-mami sedang ngerumpi. Suaranya kencang. Telinga saya tidak mungkin saya tutup dengan kapas. Padahal tema pembicaraan sebelumnya tidak menarik perhatian saya. Nah, giliran membicarakan nasib sekolah anak-anak mereka, saya pasang radar kepekaan. “Ilmu pendidikan” sedang digelar depan saya. Gratis pula.
Tidak mungkin saya nyelonong ikut nimbrung. Mami-mami pasti kaget, ada makhluk asing tiba-tiba memberi kuliah panjang lebar bahwa sekolah dengan biaya (sangat) mahal belum tentu bermutu. Soal gedung mentereng, kelas ber-AC, taman sekolah mewah, menu makan siang berkelas, kursi dan meja tulis bermerk, semua itu sama sekali tidak berkaitan langsung dengan jaminan mutu proses pembelajaran.
Dengan kata lain, tidak sedikit sekolah dengan biaya terjangkau atau relatif murah, tidak mengandalkan fasilitas serba mewah, memiliki kualitas yang bagus. Proses pembelajaran memang memerlukan fasilitas dan dukungan dana. Namun, skala primernya adalah bagaimana guru memberikan layanan belajar pada siswa. Bagaimana sikap pendidikan dan loyalitas yang disuguhkan benar-benar berpihak pada siswa bukan pada kepentingan lembaga.
Cobalah sesekali kita mengadakan survei atau pengamatan sederhana. Di setiap kabupaten kita bisa membandingkan kualitas antar sekolah swasta atau sekolah swasta dengan sekolah negeri pada jenjang satuan pendidikan yang sama. Pengalaman saya, kualitas antar sekolah itu akan seiring sejalan. Tidak ada sekolah sangat menonjol atau sangat tidak menonjol prestasinya.
Walaupun hal itu tidak berarti tidak ada sekolah yang posisi prestasinya berada di bawah. Tetap akan hadir sekolah model laa yamuutu wa laa yahya, sering diplesetkan: tidak bermutu menghabiskan banyak biaya, hidup segan mati pun enggan. Sekolah ala kadarnya saja. Sekolah seperti ini berada di luar peta survei sederhana kita.
Sekolah swasta, misalnya tingkat pendidikan dasar, yang biayanya sangat mahal bisa kita bandingkan dengan sesama SD swasta yang biayanya sedang atau dengan yang lebih murah lagi. Hasil pengamatan saya, prestasi akademik di antara sekolah dasar swasta atau negeri itu nyaris tidak berbeda. Rata-rata pencapaian prestasinya hampir sama.
Bahkan untuk beberapa kasus prestasi akademik khas olimpiade, sekolah swasta dengan biaya pendidikan sedang dan cukup terjangkau, lebih unggul daripada sekolah swasta dengan biaya sangat mahal.
Kita bisa mensimulasikan contoh kasus tersebut menjadi sangat banyak varian dan kemungkinan yang mengantarkan kita pada kesimpulan, seperti disampaikan Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO, Prof Dr H Arief Rachman, MPd, sekolah mahal belum tentu kualitasnya baik. Banyak juga sekolah yang tidak mahal kualitasnya baik.
Jika demikian, apa yang dicari oleh orangtua yang berlomba-lomba memasukkan anak-anaknya ke play group sampai pendidikan dasar atau sekolah menengah pertama bahkan menengah atas, yang berbiaya (sangat) mahal?
Pertanyaan itu pada mulanya tidak melintas di benak saya. Berhubung salah seorang ibu yang sedang ngerumpi itu terlalu semangat dan tidak mau kehilangan muka karena telah “salah” memilih sekolah, ia segera pasang argumen.
“Tapi saya bangga anak saya sekolah di sana.”