Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Nyata Sudah, Ganti Menteri Ganti Kebijakan

8 Agustus 2016   23:17 Diperbarui: 9 Agustus 2016   16:44 1142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beban Baru | ilustrasi: http://www.sekolahdasar.net/2015/12/kurikulum-baru-setelah-k-13-bernama-kurikulum-nasional.html

Seorang kawan menulis komentar di media sosial. “Kalau akademisi jadi menteri, maka mindset-nya adalah anak-anak kita harus dipersiapkan jadi profesor sejak dini. Diisi muatan akademis sebanyak banyaknya yang bisa diisi. Orang tua sudah pasti dianggap bodoh dan tidak bisa sepintar para profesor, maka (orang tua) cukup jadi tukang antar anak saja ke sekolah.”

Komentar itu menanggapi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru, Muhadjir Effendy, yang sedang menggagas pendidikan dasar yakni SD dan SMP, baik negeri maupun swasta menggunakan sistem full day school (beritasatu.com).

Komentar kawan yang lain, “Lalu di malam hari anak-anak yang udah kelelahan seharian di sekolah itu tinggal tidur dan makin hilanglah interaksi dengan orang tuanya. Halahhhh... prihatin sayaaa...”

Lantas apa kata Mendikbud? "Dengan sistem full day school, secara perlahan karakter anak akan terbangun dan tidak menjadi liar di luar sekolah ketika orang tua mereka belum pulang kerja," katanya usai menjadi pembicara dalam pengajian untuk keluarga besar Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), di Malang.

Gagasan full day school bukan gagasan baru. Lima belas tahun lalu, sekolah model sehari, pulang sampai 16.00 WIB, pernah booming dan menjadi tren terutama di sekolah swasta. Sekolah model begini waktu itu laris manis dan menjadi incaran orang tua karena selain melayani pembelajaran siswa, sekolah juga menjadi tempat penitipan anak. Orang tua yang berangkat kerja sejak pagi dan baru pulang sore hari merasa aman ketika anaknya berada dalam pengawasan guru di lingkungan sekolah.

Orangtua pasrah bongkokan pada sekolah. Soal berapa biaya pendidikannya akan dibayar. Orang tua percaya dan tahu beres. Bahkan sekolah berani memberi 'garansi' terhadap sikap 'tahu beres' orang tua itu. Hebat kan?

Seperti biasanya, sejumlah pertanyaan berebut mengisi kepala saya. Mengapa gagasan sekolah sehari penuh lahir kembali, bahkan Mendikbud siap membuat payung hukum? Apakah sudah dilakukan kajian, survei, penelitian secara mendalam manfaat positif dan dampak negatif atas sekolah seharian? Sebuah gagasan mendasar yang menyangkut nasib masa depan anak-anak mengapa menggunakan pertimbangan sepihak yakni orang tua pulang  bekerja pada sore hari?

Berapa banyak orang tua pulang bekerja sore hari? Bagaimana dengan orang tua dan anak-anak yang tinggal di desa dan dusun? Apakah para orang tua yang tinggal di dusun-dusun itu sekarang mengikuti tren gaya bekerja orang kota, pulang hingga maghrib bahkan larut malam?

Regulasi pendidikan seyogyanya tidak digagas dengan grusa-grusu. Apalagi dipukul rata seraya menutup mata pada beragam fakta kehidupan di masyarakat. Belum lagi terkait sarana prasarana sekolah yang njomplang antara sekolah di pusat kota dan sekolah di pelosok desa, antara sekolah mahal dan sekolah murah, antara sekolah favorit dan sekolah tidak favorit. Sekolah sehari penuh bukan cuma menuntut kesiapan kurikulum dan materi ajar melainkan kesanggupan guru, fasilitas belajar, dan kondisi fisik-mental siswa.

Nyata, Ganti Menteri Ganti Kebijakan
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, dalam salah satu poin Tujuh Revolusi Mental Pendidikan menyatakan perlunya memberdayakan orang tua untuk terlibat pada proses tumbuh kembang anak. Peran orang tua mendidik anak tidak reduksi menjadi mutlak tugas sekolah. Bagaimana pun tugas mendidik anak adalah tugas utama orangtua. Esensi peran mendidik orang tua dirangkai oleh Anies menjadi tujuh elemen ekosistem pendidikan, salah satunya adalah orang tua terlibat.

Gerakan hari pertama sekolah dilandasi oleh kesadaran bersama bahwa antara warga sekolah, guru, dan orang tua perlu terlibat dalam jalinan komunikasi dan kerja sama. Gerakan tersebut disambut positif—gerakan yang cukup sederhana namun memiliki akar esensi pendidikan. Pintu komunikasi antara sekolah dan orang tua terbuka. 

Pembelajaran di sekolah menjadi bukan semata beban kewajiban guru. Orang tua justru memiliki bobot kewajiban lebih berat. Sayangnya, ketika pintu kerja sama antara sekolah dan orangtua sudah terbuka, tidak ada tindak lanjut karena penggagas gerakan tersebut sudah diganti oleh menteri yang baru.

Alih-alih mengevaluasi, menyempurnakan, menindak lanjuti gerakan menteri sebelumnya, Muhadjir justru memilih menghidupkan 'gerakan lama' yang telah melewati batas jenuh. Booming sekolah model full day school telah berakhir. Orang tua makin sadar dan terbuka pikirannya: anak tidak bisa diserahkan begitu saja kepada sekolah sehingga harus pulang sore hari. Antusiasme orangtua menyambut gerakan hari pertama sekolah membuktikan bahwa kebutuhan menjalin kerja sama dengan sekolah dalam mendidik anak sudah mulai tumbuh.

Benih kesadaran tersebut bisa mati ketika program full day school benar-benar diterapkan. Mengapa? Karena sekolah merebut kembali tugas utama orang tua. Adapun orangtua harus bekerja itu sebuah kewajiban. Namun, tugas mendidik anak tidak bisa diserahkan begitu saja kepada sekolah. Bahasa gamblangnya, kepedulian dan keterlibatan orang tua dalam mendidik anak dimentahkan oleh 'gerakan' full day school.  Nyata sudah, ganti menteri ganti gagasan dan kebijakan—bahkan saling bertabrakan.

Selain itu, perlu juga dikaji beberapa sekolah yang asalnya menerapkan full day school sampai jam 16.00 WIB telah mengubah keputusan jam pulang sekolah menjadi pukul 14.30 WIB. Sesekali mereka ditanya, mengapa?

Beberapa sekolah berasrama bertahan pulang pukul 16.00 WIB. Sekolah berasrama atau sekolah formal di lingkungan pondok pesantren menuntaskan semua proses pembelajaran di sekolah. Begitu siswa kembali masuk ke asrama atau pesantren, tidak ada lagi tugas sekolah seperti mengerjakan PR atau LKS, karena mereka harus mengikuti program diniyah (materi pelajaran khas pesantren) atau program asrama lainnya.

Bagaimana dengan sekolah yang tidak berasrama, yang para siswa pulang ke rumah? Tidak sedikit orang tua masih bernafsu menambah jam belajar anaknya walaupun telah pulang pukul 16.00 WIB. Hal itu dipicu oleh banyak sebab, di antaranya orangtua tidak puas dengan layanan privat, baik privat mata pelajaran atau pelajaran mengaji yang disediakan sekolah. Akibatnya, di tengah kelelahan itu anak harus tetap belajar dan memeras otaknya hingga malam hari.

Selain itu kegemaran sekolah menambah 'menu' Pekerjaan Rumah (PR) menambah beban kejenuhan belajar. Mindset bahwa tidak diberi PR anak tidak mau belajar telah mengurat darah di hampir setiap sekolah.

Sekilas dari pemaparan ini kebijakan dan regulasi pendidikan yang dibuat oleh dua orang menteri yang berbeda, terkesan saling berbenturan, saling menindih, saling meniadakan.

Saya merasa geli sendiri, apalagi membaca komentar seorang kawan. “Saya membayangkan jika mindset ini terus menjadi platform pendidikan, maka anak cucu kita barangkali sekolah sampai ba'da Isya.”

Saya tidak jadi tertawa keras setelah membaca komentar itu karena melintas di benak saya pertanyaan, apakah anak-anak memang memerlukan sekolah model sehari penuh itu?[]

Jagalan 080816

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun