Seorang kawan menulis komentar di media sosial. “Kalau akademisi jadi menteri, maka mindset-nya adalah anak-anak kita harus dipersiapkan jadi profesor sejak dini. Diisi muatan akademis sebanyak banyaknya yang bisa diisi. Orang tua sudah pasti dianggap bodoh dan tidak bisa sepintar para profesor, maka (orang tua) cukup jadi tukang antar anak saja ke sekolah.”
Komentar itu menanggapi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru, Muhadjir Effendy, yang sedang menggagas pendidikan dasar yakni SD dan SMP, baik negeri maupun swasta menggunakan sistem full day school (beritasatu.com).
Komentar kawan yang lain, “Lalu di malam hari anak-anak yang udah kelelahan seharian di sekolah itu tinggal tidur dan makin hilanglah interaksi dengan orang tuanya. Halahhhh... prihatin sayaaa...”
Lantas apa kata Mendikbud? "Dengan sistem full day school, secara perlahan karakter anak akan terbangun dan tidak menjadi liar di luar sekolah ketika orang tua mereka belum pulang kerja," katanya usai menjadi pembicara dalam pengajian untuk keluarga besar Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), di Malang.
Gagasan full day school bukan gagasan baru. Lima belas tahun lalu, sekolah model sehari, pulang sampai 16.00 WIB, pernah booming dan menjadi tren terutama di sekolah swasta. Sekolah model begini waktu itu laris manis dan menjadi incaran orang tua karena selain melayani pembelajaran siswa, sekolah juga menjadi tempat penitipan anak. Orang tua yang berangkat kerja sejak pagi dan baru pulang sore hari merasa aman ketika anaknya berada dalam pengawasan guru di lingkungan sekolah.
Orangtua pasrah bongkokan pada sekolah. Soal berapa biaya pendidikannya akan dibayar. Orang tua percaya dan tahu beres. Bahkan sekolah berani memberi 'garansi' terhadap sikap 'tahu beres' orang tua itu. Hebat kan?
Seperti biasanya, sejumlah pertanyaan berebut mengisi kepala saya. Mengapa gagasan sekolah sehari penuh lahir kembali, bahkan Mendikbud siap membuat payung hukum? Apakah sudah dilakukan kajian, survei, penelitian secara mendalam manfaat positif dan dampak negatif atas sekolah seharian? Sebuah gagasan mendasar yang menyangkut nasib masa depan anak-anak mengapa menggunakan pertimbangan sepihak yakni orang tua pulang bekerja pada sore hari?
Berapa banyak orang tua pulang bekerja sore hari? Bagaimana dengan orang tua dan anak-anak yang tinggal di desa dan dusun? Apakah para orang tua yang tinggal di dusun-dusun itu sekarang mengikuti tren gaya bekerja orang kota, pulang hingga maghrib bahkan larut malam?
Regulasi pendidikan seyogyanya tidak digagas dengan grusa-grusu. Apalagi dipukul rata seraya menutup mata pada beragam fakta kehidupan di masyarakat. Belum lagi terkait sarana prasarana sekolah yang njomplang antara sekolah di pusat kota dan sekolah di pelosok desa, antara sekolah mahal dan sekolah murah, antara sekolah favorit dan sekolah tidak favorit. Sekolah sehari penuh bukan cuma menuntut kesiapan kurikulum dan materi ajar melainkan kesanggupan guru, fasilitas belajar, dan kondisi fisik-mental siswa.
Nyata, Ganti Menteri Ganti Kebijakan
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, dalam salah satu poin Tujuh Revolusi Mental Pendidikan menyatakan perlunya memberdayakan orang tua untuk terlibat pada proses tumbuh kembang anak. Peran orang tua mendidik anak tidak reduksi menjadi mutlak tugas sekolah. Bagaimana pun tugas mendidik anak adalah tugas utama orangtua. Esensi peran mendidik orang tua dirangkai oleh Anies menjadi tujuh elemen ekosistem pendidikan, salah satunya adalah orang tua terlibat.
Gerakan hari pertama sekolah dilandasi oleh kesadaran bersama bahwa antara warga sekolah, guru, dan orang tua perlu terlibat dalam jalinan komunikasi dan kerja sama. Gerakan tersebut disambut positif—gerakan yang cukup sederhana namun memiliki akar esensi pendidikan. Pintu komunikasi antara sekolah dan orang tua terbuka.