Pembelajaran di sekolah menjadi bukan semata beban kewajiban guru. Orang tua justru memiliki bobot kewajiban lebih berat. Sayangnya, ketika pintu kerja sama antara sekolah dan orangtua sudah terbuka, tidak ada tindak lanjut karena penggagas gerakan tersebut sudah diganti oleh menteri yang baru.
Alih-alih mengevaluasi, menyempurnakan, menindak lanjuti gerakan menteri sebelumnya, Muhadjir justru memilih menghidupkan 'gerakan lama' yang telah melewati batas jenuh. Booming sekolah model full day school telah berakhir. Orang tua makin sadar dan terbuka pikirannya: anak tidak bisa diserahkan begitu saja kepada sekolah sehingga harus pulang sore hari. Antusiasme orangtua menyambut gerakan hari pertama sekolah membuktikan bahwa kebutuhan menjalin kerja sama dengan sekolah dalam mendidik anak sudah mulai tumbuh.
Benih kesadaran tersebut bisa mati ketika program full day school benar-benar diterapkan. Mengapa? Karena sekolah merebut kembali tugas utama orang tua. Adapun orangtua harus bekerja itu sebuah kewajiban. Namun, tugas mendidik anak tidak bisa diserahkan begitu saja kepada sekolah. Bahasa gamblangnya, kepedulian dan keterlibatan orang tua dalam mendidik anak dimentahkan oleh 'gerakan' full day school. Nyata sudah, ganti menteri ganti gagasan dan kebijakan—bahkan saling bertabrakan.
Selain itu, perlu juga dikaji beberapa sekolah yang asalnya menerapkan full day school sampai jam 16.00 WIB telah mengubah keputusan jam pulang sekolah menjadi pukul 14.30 WIB. Sesekali mereka ditanya, mengapa?
Beberapa sekolah berasrama bertahan pulang pukul 16.00 WIB. Sekolah berasrama atau sekolah formal di lingkungan pondok pesantren menuntaskan semua proses pembelajaran di sekolah. Begitu siswa kembali masuk ke asrama atau pesantren, tidak ada lagi tugas sekolah seperti mengerjakan PR atau LKS, karena mereka harus mengikuti program diniyah (materi pelajaran khas pesantren) atau program asrama lainnya.
Bagaimana dengan sekolah yang tidak berasrama, yang para siswa pulang ke rumah? Tidak sedikit orang tua masih bernafsu menambah jam belajar anaknya walaupun telah pulang pukul 16.00 WIB. Hal itu dipicu oleh banyak sebab, di antaranya orangtua tidak puas dengan layanan privat, baik privat mata pelajaran atau pelajaran mengaji yang disediakan sekolah. Akibatnya, di tengah kelelahan itu anak harus tetap belajar dan memeras otaknya hingga malam hari.
Selain itu kegemaran sekolah menambah 'menu' Pekerjaan Rumah (PR) menambah beban kejenuhan belajar. Mindset bahwa tidak diberi PR anak tidak mau belajar telah mengurat darah di hampir setiap sekolah.
Sekilas dari pemaparan ini kebijakan dan regulasi pendidikan yang dibuat oleh dua orang menteri yang berbeda, terkesan saling berbenturan, saling menindih, saling meniadakan.
Saya merasa geli sendiri, apalagi membaca komentar seorang kawan. “Saya membayangkan jika mindset ini terus menjadi platform pendidikan, maka anak cucu kita barangkali sekolah sampai ba'da Isya.”
Saya tidak jadi tertawa keras setelah membaca komentar itu karena melintas di benak saya pertanyaan, apakah anak-anak memang memerlukan sekolah model sehari penuh itu?[]
Jagalan 080816