“Uji nyali itu, Pak!”
“Tiba-tiba mayatnya membuka mata lalu bertanya, ‘Ngapain kamu disini?’. Sereeeem…” canda siswa lainnya.
“Kenapa tidak mau, takut?” tanya saya.
“Ya iyalaaah, Pak.”
“Kalau mengerjakannya beramai-ramai bagaimana?”
“Beraniiii…!”
Pelan-pelan saya mengajak mereka diskusi untuk memilah dan memilih mana perasaan mana pikiran. Tidak terlalu sulit bagi mereka menemukan kesimpulan bahwa menghitung penjumlahan itu pekerjaan akal sedangkan merasa takut itu pekerjaan hati.
Pemahaman kunci sudah didapat. Salah seorang siswa maju ke depan menyampaikan hasil temuannya.
“Mengerjakan soal hitungan siswa sekolah dasar memang mudah. Tapi akan menjadi sangat sulit bukan karena kita tidak bisa mengerjakannya, melainkan karena perasaan kita sedang dicekam ketakutan. Kesimpulannya perasaan akan mempengaruhi kerja pikiran. Perasaan yang galau, cemas, stres, takut dapat melumpuhkan pikiran.”
Luar biasa. Seisi ruangan bertepuk tangan memberikan applaus. Mereka adalah generasi millenial, anak-anak yang dibesarkan oleh kepengasuhan langit, daya abstraksinya menyalip golongan tua, anak-anak yang sangat IT-addict, etos membangun jaringan sangat kuat, jarang yang bercita-cita menjadi pegawai negeri apalagi petani.
Siang itu tugas saya menjadi lebih ringan. Setelah kunci ditemukan, mereka akan membuka “pintu-pintu” perasaan dan pikiran mereka sendiri. Bukan terutama untuk hari ini tapi untuk sepanjang hari-hari mereka menjalani hidup, kelak di masa depan.