Beberapa waktu lalu saya menghadiri pertemuan orangtua siswa baru. Di awal tahun pelajaran memang lazim diadakan pertemuan antara sekolah yang diwakili oleh kepala sekolah dan pengurus komite dengan para orangtua. Kepala sekolah memaparkan budaya belajar di sekolah, ketua komite menyampaikan kebutuhan dana untuk pengembangan pendidikan.
Ruang pertemuan mulai ramai oleh usulan orangtua ketika ketua komite menyampaikan kebutuhan sekolah beserta besaran rupiahnya. Bisa ditebak. Ujung-ujungnya “beban” pendanaan itu dimohonkan dengan ikhlas agar orangtua turut menanggungnya.
Suasana pertemuan yang cair itu menjadi ajang adu argumen dan pendapat. Pasalnya, dari jumlah total dana yang dibutuhkan lalu dibagi jumlah orangtua siswa baru, setelah dikurangi jumlah keluarga kurang beruntung, menampilkan jumlah rupiah yang relatif terlalu besar menurut mereka yang hadir.
Terjadilah “tawar menawar” harga antara ketua komite sekolah dengan orangtua. Ketua komite akhirnya “mengalah” bukan karena benar-benar kalah atau menyerah. Disepakati jumlah minimal iuran pendidikan yang akan dibayar, meskipun bagi orangtua yang hendak membayar lebih tetap diberi kesempatan.
Keberatan membayar dalam jumlah yang relatif besar adalah fakta yang disuarakan oleh mayoritas orangtua. Sekolah tidak bersikukuh dengan besaran iuran pendidikan. Adapun orangtua yang ingin “bersedekah” tetap terbuka peluang tanpa memengaruhi status siswa lainnya yang telah diterima di sekolah itu.
Alhasil, komite dan orangtua menyepakati iuran pendidikan yang terjangkau oleh sebagian besar orangtua siswa baru.
Di awal tahun pelajaran baru, orangtua perlu bersikap kritis untuk menyikapi aneka pungutan dari sekolah. Tidak sedikit sekolah meminta pungutan dalam jumlah yang sangat besar. Sekolah swasta yang bermerek mahal tidak segan-segan mematok pungutan dengan harga tinggi. Sedangkan orangtua siswa baru terbawa obsesi bahwa sekolah mahal itu akan membuahkan hasil pendidikan yang maksimal. Siapa bilang!
Mereka sanggup membayar berapa pun demi menebus obsesi yang ternyata tidak selalu berkaitan dengan cita-cita pendidikan. Menjaga status sosial sebagai keluarga yang hidup berkelimpahan dipelihara pencitraannya dengan menyekolahkan anak di sekolah mahal.
“Banyak sekolah swasta menarik pungutan sangat tinggi, padahal mutu yang diberikannya tidak sepadan dengan uang yang telah dikeluarkan oleh orangtua murid. Mereka tidak tahu kalau mereka dirugikan dan pemerintah tampaknya tidak terlalu memperhatikan masalah ini,” ungkap Hendri Febri AA dalam Pungutan Berkedok Sumbangan.
Tak ayal, bisnis pendidikan memang menggiurkan. Motif komersial dalam penyelenggaraan pendidikan di beberapa sekolah swasta lebih mendominasi daripada pandangan dan pertimbangan filosofi edukasi. Penampilan sekolah yang kasat mata, fasilitas, gedung megah, ruang ber-AC, lip service program pendidikan, taman yang mewah sengaja dihadirkan tanpa diikuti oleh penerapan sistem manajemen sekolah efektif.
Sekolah Mie Rasa Ayam Bawang
Masih lumayan sekolah menghadirkan orangtua untuk diajak bermusyawarah menentukan iuran pendidikan. Saya mengapresiasi keputusan ketua komite sekolah yang mengambil jalan tengah itu. Setelah saya renungkan, iuran pendidikan yang telah disepakati itu sesungguhnya sangat-sangat murah.
Bukan saya tidak bersyukur. Fasilitas tak kasat mata yang telah dijaga kualitas dan reputasinya oleh sekolah selama berpuluh-puluh tahun tidak mungkin dirupiahkan oleh uang berapa pun. Ketangguhan sekolah menjaga konsistensi mutu layanan pendidikan, berapakah nilai rupiahnya? Walaupun hal itu menjadi salah satu penentu kualitas tidak lantas sekolah berhak begitu saja memungut iuran pendidikan yang mahal.
Memang diperlukan sokongan dana pendidikan untuk menjaga konsistensi layanan bermutu. Namun, pendidikan tidak selalu bergantung penuh pada uang. Sekolah yang menyelenggarakan pendidikan bukan pabrik bermesin mekanik yang menghasilkan produk barang. Sekolah adalah organisme yang dihuni oleh manusia-manusia rohani yang selalu tumbuh dan berkembang dalam komunitas belajar.
Lebih gamblang lagi, uang bukan satu-satunya penentu mutu pendidikan walaupun salah satu penentu mutu pendidikan adalah ketersediaan dana.
Maka, pertanyaan bagi sekolah yang memungut pungutan mahal berkedok sumbangan adalah apakah tingginya biaya pendidikan berbanding lurus dengan tingginya dedikasi para guru melayani siswa? Apakah sekolah sanggup menjamin guru bukan “buruh pendidikan” yang berada di bawah dominasi orangtua siswa yang telah merasa membayar mahal? Apakah ada keterkaitan antara membangun nilai dan konsep dasar mendidik dengan iuran pendidikan yang mahal itu? Bila mutu sekolah masih fluktuatif, angin-anginan, kembang-kempis—dan hal itu menunjukkan belum terbangunnya sistem manajemen sekolah efektif, mengapa biaya pendidikan dipatok setinggi langit?
Saya tidak akan menghabiskan tulisan ini dengan mengajukan seribu pertanyaan lagi. Sederet pertanyaan di atas akan menunjukkan tidak sedikit sekolah (swasta) berbayar mahal seperti mie instant rasa ayam bawang. Masakan mie dengan berbagai pilihan rasa. Bentuknya mie tapi serasa soto, kare, bakso. Sekolah konotatif yang melumpuhkan nalar pendidikan. Ironisnya, sekolah mie rasa ayam bawang makin digemari.
Membeli sebungkus mie instant di warung tidak perlu tawar-menawar harga. Demikian pula membeli “pendidikan mie instant” di beberapa sekolah swasta yang mahal. Tidak ada tawar-menawar harga: sanggup bayar silakan masuk, tidak sanggup bayar silakan mencari sekolah lain. Tidak heran sebelum menyekolahkan anak banyak orangtua bertanya;
“Sekolah di sana berapa uang gedungnya?”
“Berapa total biaya masuknya?”
“Berapa sumbangan pendidikannya? Bisa dicicil nggak?”
“Aduh, mahal ya? Padahal kualitas sekolahnya biasa-biasa saja!”
Lalu ada yang ketus menjawab, “Ngapain pusing mikirin kualitas. Biar mahal, aku bisa bayar kok…!”
Nah loe. []
Jagalan 270716
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H