Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Membayar Mahal Sekolah “Mie Rasa Ayam Bawang”

27 Juli 2016   10:05 Diperbarui: 27 Juli 2016   17:04 679
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi: http://www.pedidikanindonesia.com/2016/07/biaya-sekolah-mahal-orangtua-siswa.html

Masih lumayan sekolah menghadirkan orangtua untuk diajak bermusyawarah menentukan iuran pendidikan. Saya mengapresiasi keputusan ketua komite sekolah yang mengambil jalan tengah itu. Setelah saya renungkan, iuran pendidikan yang telah disepakati itu sesungguhnya sangat-sangat murah.

Bukan saya tidak bersyukur. Fasilitas tak kasat mata yang telah dijaga kualitas dan reputasinya oleh sekolah selama berpuluh-puluh tahun tidak mungkin dirupiahkan oleh uang berapa pun. Ketangguhan sekolah menjaga konsistensi mutu layanan pendidikan, berapakah nilai rupiahnya? Walaupun hal itu menjadi salah satu penentu kualitas tidak lantas sekolah berhak begitu saja memungut iuran pendidikan yang mahal.

Memang diperlukan sokongan dana pendidikan untuk menjaga konsistensi layanan bermutu. Namun, pendidikan tidak selalu bergantung penuh pada uang. Sekolah yang menyelenggarakan pendidikan bukan pabrik bermesin mekanik yang menghasilkan produk barang. Sekolah adalah organisme yang dihuni oleh manusia-manusia rohani yang selalu tumbuh dan berkembang dalam komunitas belajar.

Lebih gamblang lagi, uang bukan satu-satunya penentu mutu pendidikan walaupun salah satu penentu mutu pendidikan adalah ketersediaan dana.

Maka, pertanyaan bagi sekolah yang memungut pungutan mahal berkedok sumbangan adalah apakah tingginya biaya pendidikan berbanding lurus dengan tingginya dedikasi para guru melayani siswa? Apakah sekolah sanggup menjamin guru bukan “buruh pendidikan” yang berada di bawah dominasi orangtua siswa yang telah merasa membayar mahal? Apakah ada keterkaitan antara membangun nilai dan konsep dasar mendidik dengan iuran pendidikan yang mahal itu? Bila mutu sekolah masih fluktuatif, angin-anginan, kembang-kempis—dan hal itu menunjukkan belum terbangunnya sistem manajemen sekolah efektif, mengapa biaya pendidikan dipatok setinggi langit?

Saya tidak akan menghabiskan tulisan ini dengan mengajukan seribu pertanyaan lagi. Sederet pertanyaan di atas akan menunjukkan tidak sedikit sekolah (swasta) berbayar mahal seperti mie instant rasa ayam bawang. Masakan mie dengan berbagai pilihan rasa. Bentuknya mie tapi serasa soto, kare, bakso. Sekolah konotatif yang melumpuhkan nalar pendidikan. Ironisnya, sekolah mie rasa ayam bawang makin digemari.

Membeli sebungkus mie instant di warung tidak perlu tawar-menawar harga. Demikian pula membeli “pendidikan mie instant” di beberapa sekolah swasta yang mahal. Tidak ada tawar-menawar harga: sanggup bayar silakan masuk, tidak sanggup bayar silakan mencari sekolah lain. Tidak heran sebelum menyekolahkan anak banyak orangtua bertanya;

“Sekolah di sana berapa uang gedungnya?”

“Berapa total biaya masuknya?”

“Berapa sumbangan pendidikannya? Bisa dicicil nggak?”

“Aduh, mahal ya? Padahal kualitas sekolahnya biasa-biasa saja!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun