Favorit atau tidak bukan terutama hasil kerja sistem belajar dan manajemen pendidikan yang dijalankan sekolah. Kepala sekolah yang pernah bertugas di sekolah favorit ketika dipindah ke sekolah yang bukan favorit belum tentu sanggup menggeser penilaian publik tentang peta kualitas sekolah. Bahkan kesannya, kepala sekolah atau guru itu “dihukum” sehingga harus bertugas di sekolah yang kurang baik.
Kalau bukan sekolah model auto pilot terus disebut model apa? Bahkan ada kepala sekolah yang baru dimutasi satu bulan sepuluh hari sudah memaparkan “keadaan” sekolah barunya. Yang membuat saya heran, publik atau orangtua sama sekali tidak merasa musykil. Saya merasa hal itu keajaiban atau kalau tidak, semacam keanehan yang diperagakan.
“Keadaan” sekolah yang disampaikan adalah “keadaan” saat sekolah dipegang kepala sekolah lama. Begitu seterusnya, mengingat mutasi kepala sekolah akan terus berlanjut ke sekolah lainnya.
Kata kawan saya, umpama di sekolah itu tidak ada kepala sekolah, ya ndak apa-apa. Proses belajar akan berlangsung seperti sebelum-sebelumnya. Sistem dan mekanisme sekolah telah terbentuk dan akan selalu berjalan, guru atau kepala sekolah yang baru akan segera menyesuaikan diri atau terserap begitu saja, dengan atau tanpa pertimbangan kualitatif. Auto pilot…
Sekolah favorit tetap menjadi favorit. Sekolah setengah favorit tetap menjadi setengah favorit. Sekolah tidak favorit ya tetap menjadi tidak favorit.
Auto pilot bisa berlangsung dalam skala yang lebih sempit lagi. Metode guru mengajar sampai bagaimana masa orientasi siswa (sekarang dinamakan Pengenalan Lingkungan Sekolah) yang dilangsungkan, cukup berbasis pada kebiasaan. Kritik tajam Anis Baswedan terhadap kebiasaan kepala sekolah menetapkan kegiatan sekolah bukan berdasarkan aturan, menunjukkan elan kreativitas dan inovasi pendidikan para pendidik, pelan namun pasti mulai pupus. Auto pilot memang aman, nyaman, dan melenakan.
Seakan-akan Anis menyatakan, selama tidak menyalahi aturan mengapa tidak dikembangkan pendidikan yang menyenangkan? Sudah hanya didasarkan pada kebiasaan, menyalahi aturan pula; model pendidikan seperti itu apa yang bisa diharapkan?
Pendidikan di sekolah yang dijalankan secara auto pilot sesungguhnya tengah menunjukkan penyakit edukasi yang serius. Pragmatisme edukasi yang diterapkan bukan pada tempatnya tidak disadari sebagai virus mematikan. Pragmatisme berlindung di balik tembok yang mengatasnamakan percepatan belajar. Yang dimaksud percepatan belajar kini dipragmatiskan lagi menjadi “sekarang menanam, besok harus panen”.
Fenomena itu patut dicermati oleh guru dan orangtua. Memanfaatkan momentum hari pertama sekolah, Anis mengingatkan bahwa pendidikan bukan seperti lari jarak pendek. Pendidikan ibarat lari maraton yang memerlukan stamina sempurna.
Pragmatisme percepatan belajar yang salah kaprah merusak visi pendidikan seperti yang disampaikan Anis. Orangtua dibius oleh ambisi beban belajar yang ditimpakan kepada anak. Guru dijebak oleh ambisi menempuh jalan pintas agar berhasil secepatnya memenuhi harapan orangtua.
Gerakan hari pertama sekolah akan mengembalikan proses belajar secara alami dan menyenangkan, apabila guru dan orangtua menyadari virus pragmatisme yang bergerak bukan pada tempatnya. Jadi bukan sekadar beramai-ramai mengantar dan menunggu anak di sekolah.