Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Lima Permendikbud Diterbitkan, Sekolah Aman dan Nyaman?

15 Juli 2016   12:54 Diperbarui: 15 Juli 2016   18:36 1017
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak main-main. Tahun 2015 dan 2016 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan meluncurkan lima regulasi untuk mendukung terciptanya lingkungan sekolah yang aman, nyaman, dan menyenangkan.

Kelima Permendikbud yang diterbitkan untuk mewujudkan sekolah aman dan nyaman adalah Permendikbud No. 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, Permendikbud No. 64 Tahun 2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah, Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, Permendikbud No. 8 Tahun 2016 tentang Buku yang Digunakan oleh Satuan Pendidikan, dan Permendikbud No. 18 Tahun 2016 tentang Pengenalan Lingkungan Sekolah Bagi Siswa Baru. (kemdikbud.go.id)

Terbitnya kelima Permendikbud di atas cukup bisa dipahami, mengingat lima persoalan, yakni budi pekerti; lingkungan sekolah yang bersih dan sehat, proses pembelajaran yang aman, nyaman, dan menyenangkan; pengaturan buku pelajaran; dan tindakan perpeloncoan kerap menuai masalah. Sekolah terjebak pada kebiasaan, bukan menjalankan aturan.

Sekolah akan selalu berhadapan dengan dinamika kehidupan di luar lingkungannya. Namun selama ini sekolah masih kedodoran dan gagap merespon realitas kehidupan siswa, keluarga, dan lingkungan masyarakatnya. Sebut saja persoalan budi pekerti, hingga hari ini, sekolah tertatih-tatih dan tidak jarang terkesan lepas tangan atas buruknya karakter siswa ketika hidup di tengah masyarakat.

Bermacam formula telah diracik. Mulai dari pendidikan berbasis karakter, berdoa sebelum dan sesudah belajar, pembiasaan membaca buku non-pelajaran 15 menit sebelum pelajaran dimulai, sampai pesantren kilat di bulan Ramadhan – seakan menguap begitu saja. Sekolah dan lingkungan belajar yang disajikannya tidak lebih dari “dunia lain” yang hidup berdampingan dengan “dunia luar”, yang dinamikanya lebih hidup, menarik, dan menantang siswa.

Anomali perilaku siswa selalu disikapi dengan pendekatan serba formal. Ambil contoh, selama bulan Ramadhan siswa diberi buku kegiatan, berisi kolom tanda tangan yang harus diisi untuk membuktikan yang bersangkutan telah mengerjakan shalat tarawih, tadarus Al-Quran, atau kegiatan lain. Tidak adakah cara yang lebih kreatif dari pendekatan yang serba formal itu?

Dalam skala lebih luas, pendekatan serba formal untuk mengatasi anomali perilaku siswa yang bikin deg-deg-ser hati guru dan orangtua adalah kurikulum. Lagi ramai pejabat korupsi, digagas kurikulum korupsi. Lagi ramai bom teroris, digagas kurikulum anti teroris. Lagi ramai kejahatan narkoba, digagas kurikulum narkoba. Lagi ramai bullying di media sosial, digagaslah kurikulum bullying.

Dunia lain bernama sekolah itu nampaknya bergerak kaku dan lamban karena dihidupi oleh nyawa formalisme. Kebiasaan mental yang menjalankan program belajar tidak lebih untuk menggugurkan kewajiban. Formalisme telah menjadi budaya, kebiasaan akut yang turun temurun, menjadi perilaku kedinasan dengan bejibun kewajiban administratif.

Apabila Anis Baswedan menyatakan bahwa republik ini didirikan bukan dengan kebiasaan tapi memakai aturan, bagaimana pula dengan guru yang didominasi oleh mentalitas “kebiasaan” berperilaku sebagai pegawai (negeri) ketimbang menjadi sosok yang digugu dan ditiru?

Birokrasi yang dijalankan secara rigid adalah musuh kreativitas. Apabila guru dituntut agar tampil kreatif, inofatif, menyenangkan, seyogianya beban administratif yang menumpuk itu perlahan dikurangi. Psikologi komunikasi yang dibangun misalnya antara pengawas dan guru, tidak sekaku bawahan dan atasan. Pengawasan ke sekolah dibangun dengan kesadaran quality assurance. Mindset yang berlaku selama ini tugas pengawas adalah melakukan quality control.

Apabila guru tidak terbiasa memberikan respon kreatif karena tidak didukung oleh atmosfer yang menantang kreativitas – perkara yang selalu menjadi tuntutan semua pihak dan untuk itu guru dilatih dalam pelatihan-pelatihan yang menghabiskan dana anggaran miliaran – hasilnya adalah para siswa yang miskin ide-ide kreatif.

Tidak heran, Paolo Freire pun memberikan kritik tajam. Sekolah menjadikan para siswa berperilaku seperti robot karena kurang dilatih untuk memberi respon kreatif. Lebih hebat lagi Freire menuduh sekolah telah memasung kreativitas dan membunuh daya pikir anak.

Guru robot, siswa robot. Ironi mengiris hati. Mengapa fakta memilukan ini mengepung sekolah? Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Phi Delta Kappa / Galup studi tahun 2004 menyebutkan bahwa 73 % responden setuju tentang kelemahan mendasar pendidikan, yaitu bertumpu pada ketiadaan guru yang baik hati alias mengajar tidak dengan rasa cinta.

Survei tersebut juga menunjukkan jika karena kondisi terpaksa atau mendesak seseorang harus berhenti dari profesinya sebagai seorang guru, maka jawaban yang paling dipilih adalah karena alasan rendahnya gaji dan fasilitas (67%), kekakuan birokrasi (21%), kesulitan dalam menghadapi orangtua (8%), dan alasan kondisi siswa (4%). Survei menunjukkan hanya 4% saja guru memiliki keterikatan secara emosional terhadap siswa mereka (Rosanne Liesvled and Jo Ann Miller: 2015).

Keterikatan secara psikologis atau emosional (engagement) ternyata  musuh guru itu sendiri. Benar kiranya sinyalemen Freire bahwa guru menganggap siswa sebagai tahanan (prisoners) atau pekerja (employers) yang harus selalu ditekan agar selalu belajar, belajar, dan belajar. Bukankah anggapan dan sikap guru terhadap siswa mencerminkan pola hubungan antara guru dengan pengawas beserta jajarannya hingga ke atas dalam alur birokrasi yang rumit dan rigid?

Lima regulasi Permendikbud di atas patut diapresiasi dan didukung. Namun, jangan kita lantas berpikir persoalan akan selesai. Sekolah aman, nyaman, dan menyenangkan masih perlu diperjuangkan. Orangtua dan masyarakat harus mengawalnya, mengingat kompleksitas “kebiasaan” guru atau warga sekolah lainnya telah mengurat-darah. Bukankah kita menghendaki sekolah hadir sebagai taman jiwa bagi anak-anak kita? []

Jagalan 150716

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun