Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Beda Jerman dan Indonesia Soal Kesadaran Berkendara

9 Juli 2016   22:06 Diperbarui: 10 Juli 2016   11:05 1551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Macet | Sumber: https://www.facebook.com/tommy.wijaya.351?pnref=story

Siang yang cukup gerah. Seorang teman datang dengan wajah kusut berkeringat.

“Ampun, ampun, ampun!”

“Ada apa?” Kaget bukan main saya. Belum duduk belum bersalaman ia langsung menumpahkan keluh dan kesah.

“Ampun. Ini sudah bukan soal macet!”

“Kamu bicara soal apa? Ayo duduk dulu!”

“Ampun. Masyarakat yang terdidik, perilakunya pasti terdidik. Inilah akibat pendidikan yang dibatasi dalam ruang kelas.”

“Ooo…kamu bicara pendidikan?”

“Bukan. Aku bicara kemacetan.”

“Tadi barusan omong pendidikan dan ruang kelas.”

“Iya. Pendidikan…eh…sekolah salah mendidik perilaku. Jadinya macet dimana-mana. Ampun.”

Saya geleng-geleng kepala menyaksikan tingkahnya. “Jadi sekolah itu mengakibatkan kemacetan?”

Halah…kamu berlagak bego. Fakta yang terjadi di jalan, bagaimana pengguna jalan raya berperilaku, bagaimana para pengendara motor meliuk-liuk seenaknya, bagaimana pengemudi mobil, truk, bus, angkot parkir sekenanya – semua itu cermin perilaku yang dibentuk oleh pendidikan.”

Dalam hati saya tersenyum kecut. Pengalaman di jalan raya yang hampir dialami oleh siap saja. Jangankan arus mudik yang melibatkan jutaan kendaraan, hari-hari biasa menjelang jam masuk sekolah, jalanan mendadak menjadi medan rush hour.

Saya tidak membicarakan Jakarta tapi di kota kecil tempat saya tinggal, rush hour antara pukul 06.30 – 07.00 WIB, menunjukkan lemahnya manajemen waktu pelakunya. Katakanlah, sekolah masuk pukul 07.00 WIB. Lima belas menit menjelang bel sekolah berbunyi, jalanan berubah menjadi ajang balapan, baik motor dan mobil, siswa SMA dan ibu-ibu yang membonceng anaknya, berpacu dengan mengandalkan satu saja keterampilan: tancap gas.

Jalan raya adalah diktat tanpa teks yang menginformasikan secara langsung bermacam-macam ilmu. Di sana beragam perilaku manusia, lengkap dengan latar belakang psikologi, agama, sosial, budaya, politik, ekonomi, hadir gamblang segamblang-gamblangnya. Coba kita cermati, pendekatan ilmu macam apa yang bisa menjelaskan perilaku seorang ibu naik motor dan tancap gas, dengan kedua anak yang diboncengnya (berseragam sekolah dasar) tidak menggunakan helm. 

Atau, sesekali mari kita amati perilaku pengemudi mobil pribadi yang mengantarkan anaknya ke sekolah. Tak terhitung saya menjumpai ibu-ibu muda itu berhenti seenak dan sekenanya saja di posisi yang menyumbat arus kendaraan lainnya. Di belakangnya mobil, motor, becak, termangu-mangu menunggu, dan ternyata sang ibu menyempatkan cium pipi anaknya, berpesan ini-itu, menata jilbab putrinya, salaman, lalu melambaikan tangan.

Perilaku kelas sosial menengah ke atas yang – maaf – tidak sepadan dengan kesan sebagai orang berpendidikan. Banyak pengemudi mobil berhenti kapan ia mau berhenti, parkir kapan ia mau parkir, belok kapan ia mau belok, tanpa kesadaran ia sedang dimana dan tanpa imajinasi sosial bahwa ia berada diantara manusia dan pengendara yang lain.

Manajemen waktu dan kesadaran (imajinasi) sosial, dua fakta perilaku manusia terdidik yang abai diajarkan sekolah. Keterampilan mengatur waktu itu berakar dari sikap mandiri bahwa kita berdaulat penuh terhadap apa yang akan dan sedang kita kerjakan. Dan kita tahu standarisasi yang diterapkan sekolah mengikis kesadaran dan menihilkan sikap mandiri dan kedaulatan diri.

Efek secara langsung dalam waktu dekat memang tidak langsung terbukti. Namun, perilaku negatif berkendara di jalan mengabarkan bahwa dalam jangka waktu yang lama, sekolah sedang mempersiapkan masyarakat yang sakit.

Tengok saja bagaimana remaja kita memacu motornya di jalanan padat kendaraan. Saya sempat berpikir, ibunya pasti sedang sakit atau menjelang ajal. Sehingga ia seperti orang kesetanan melarikan motornya. Eh, ternyata saat saya melewati warung kopi, di sana remaja kita tertawa-tawa sambil menyalakan rokok bersama temannya. Apa yang salah dengan sekolah kita?  

Perasaan saya tambah ngenes, seorang teman di media sosial memasang foto kemacetan di jalan tol di Jerman. “Ini adalah foto keadaan lalu lintas di jalan tol di Jerman kala macet. Semua kendaraan serentak dengan kesadaran sendiri menepi ke kiri dan kanan jalan, agar kendaraan emergency seperti ambulance atau patroli bisa lewat dan tidak ikut terjebak kemacetan.”

Macet | Sumber: https://www.facebook.com/tommy.wijaya.351?pnref=story
Macet | Sumber: https://www.facebook.com/tommy.wijaya.351?pnref=story
Inilah kesadaran yang dipicu oleh imajinasi sosial berkat tumbuhnya moralitas, solidaritas, empati – buah pendidikan yang sebenarnya. Tantangan kita memang berat walaupun bukan sesuatu yang mustashil untuk dikerjakan. Apa itu? Memulainya dari diri sendiri di tengah arus utama perilaku publik yang terkikis imajinasi sosialnya.

Pendidikan yang mengedepankan pragmatisme akan menghasilkan perilaku yang sama di tengah publik. Membuang sampah sembarangan, susah mengantri, minta dilayani secara istimewa, adalah perilaku nir-kesadaran sosial. Masihkan sekolah mendiamkannya dan menganggapnya bukan bagian dari pendidikan? Jika jawabnya ya, saya akan meniru teman saya: ampun…ampun…[]

Jagalan 09 07 16

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun