“Kapan kita bukpuber, Pak?”
“Iya, Pak. Kapan?”
“Masak ndak ada bukpuber!”
“Iya. Masak ndak ada bukpuber.”
“Nanti keburu habis puasanya.”
Celoteh anak-anak bersahutan. Saya tidak segera menjawab karena berpikir, apa itu bukpuber? Saya otak-atik dan tidak ketemu.
“Bukpuber itu apa? tanya saya. Mereka tertawa.
Serempak anak-anak menjawab, “Buka puasa bersama!”
“Dari mana kalian menemukan istilah itu?”
“Kita ngarang sendiri, Pak!”
Ealaah…buka puasa bersama. Ada-ada saja anak-anak ini, menciptakan istilah sendiri: bukpuber. Tiba-tiba saya mendapat “sesuatu” dari istilah yang tidak “wajar” itu. Sesuatu yang saya temukan secara mendadak itu adalah orisinalitas.
Mengapa mereka tidak memakai istilah bukber yang kerap dipakai oleh banyak kalangan itu? Mengapa secara kompak mereka menggunakan istilah bukpuber? Ilham dari mana sehingga otak anak-anak itu merangka sedemikian rupa lalu menghasilkan istilah yang lahir secara orisinil dari pikiran mereka sendiri? Tak habis-habisnya saya melamun dalam tanya.
Sepele memang, hanya menemukan istilah baru. Namun otak saya menalar bahwa kreativitas anak, sekecil apapun itu, bukanlah perkara sepele. Saya sangat menghargai hasil kerja pikiran anak-anak meski bagi orang lain istilah yang berhasil mereka temukan itu bukan prestasi membanggakan.
Orisinalitas menjadi makhluk langka di tengah arus deras informasiyang sering menuntun cara berpikir kita. Di tengah itu semua, anak-anak adalah mangsa yang empuk bagi predator cara berpikir yang tidak henti-hentinya mengikis kedaulatan diri.
Cara berpikir yang didesain bahkan oleh lembaga yang paling bertanggung jawab terhadap personalitas individu, termasuk anak-anak, yaitu sekolah. Lembaga formal yang kerap menampilkan paradoks-paradoks memprihatinkan terkait bagaimana praktek pendidikan dijalankan.
Sudah menjadi pandangan publik bahwa sekolah sarat dengan praktek penyeragaman. Tengok saja, misalnya penerimaan siswa baru tingkat SMP dan SMA. Standarisasi yang dipakai untuk menjaring siswa baru belum beranjak dari wacana akademik. Rerata Nilai Ujian Nasional (NUN) dan nilai Tes Potensi Akademik menjadi standar utama.
Itu baru seleksi masuk, apalagi praktek pendidikan setiap hari yang berlangsung di sekolah. Wacana akademik masih menjadi idola bagi model pendidikan kita. Orisinalitas siswa sebagai manusia yang dianugerahi fitrah dan beragam potensi untuk hidup dan menjalani hidup terkikis.
Pelan namun pasti, anak-anak tidak kenal dengan diri mereka. Mereka dicetak dalam satu plot cara berpikir yang nyaris seragam. Sebut saja seragam dalam memaknai makna kesuksesan, seragam dalam memandang diri sendiri, seragam dalam menilai aku termasuk siswa baik atau buruk, seragam dalam cara berpikir dan mengunyah teks, seragam dalam mengartikan masa depan…
Lalu dimanakah orisinalitas kaya warna anak-anak manusia? Apa sudah sedemikian linier cara berpikir dan gaya hidup pendidikan modern? Untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya mengapa mereka harus diasingkan kedaulatan dirinya? Apakah gerbong pendidikan akan selalu dihuni oleh keseragaman yang dipeta-petakan? Ada gerbong pendidikan untuk kelompok akademik tinggi, sedang, kurang, bahkan sangat kurang – dengan dampak psikologis yang tidak ringan? Apakah ini bukan sebuah tragedi kemanusiaan?
Terbelahnya sikap pandangan publik, termasuk guru, dalam menyikapi kasus kejahatan yang terjadi di sekolah, mencerminkan budaya berpikir dikotomis berkuasa benar di otak kepala kita. Berpikir sepenggal-sepenggal, melihat hanya dari satu sudut pandang, menilai hanya dari satu sisi, merasakan hanya dari satu pihak, dan beragam lapisan-lapisan berpikir yang tidak utuh-menyeluruh, merupakan fenomena yang tidak terlepas begitu saja dari hasil pendidikan yang mereduksi orisinalitas kemanusiaan.
Kita menjadi gagap menemukan diri di tengah konteks persoalan yang mendera tiada habisnya. Kegagapan bagai ruang kosong bagi masuknya cara dan sikap berpikir yang mereduksi orisinalitas dan jati diri kita sebagai manusia, juga sebagai warga bangsa.
Gagap dalam berpikir dan bersikap sehingga satu mengutuk maka kutukan itu akan bersambung berantai menjadi kutukan berikutnya. Satu mencaci akan disusul oleh caci maki berikutnya. Kutukan dan makian dalam satu persoalan akan sambung menyambung, secara berjamaah, menjadi satu, mengusai isi kepala kita. Kita terpenjara di tengah arus bebas keterbukaan komunikasi.
Dalam sisi gelap itu kita menemukan diri sebagai orang yang latah: sebuah fakta hilangnya kemandirian dan kedaulatan. Namun, kita pun masih menghibur diri bahwa yang latah itu sedang mengikuti trend setter. Ungkapan kriminalisasi yang berawal dari kasuk KPK beberapa tahun lalu, tanpa perlu mempelajari pengertian, makna, dimensi, nuansa, fakta hukum – kini menjadi ungkapan untuk menilai peristiwa pendidikan adalah bentuk kelatahan yang nyata.
Kita menjadi korban tipu muslihat – akibat tidak berdaulat dalam proses dan cara berpikir – yang menyangkut pendidikan, sekolah, belajar, tata nilai keluarga, peran dan fungsi orangtua. Ironisnya, di tengah ketidaksadaran diri menjadi konsumen bagi produk berpikir yang mengikis orisinalitas itu, kita menjadi agen bagi mata rantai konsumen lainnya.
Akibatnya, alur, langkah, sikap berpikir, dan efek tindakan kita atas setiap persoalan sangat mudah ditebak, dan karena itu menjadi sangat mudah dikendalikan.
Maka, ketika anak-anak ngaji melontarkan istilah bukpuber untuk menyebut buka puasa bersama, saya senang dan bangga bukan main. Di tengah “hegemoni” penggunaan istilah bukber, mereka berhasil membebaskan dirinya dari kecenderungan arus utama, dengan menciptakan istilah baru, yang menurut saya mencerminkan orisinalitas, dan itu layak dihargai.
Akhirnya, bukpuber itu pun berhasil diselenggarakan dalam suasana ceria dan gayeng dengan menu yang sederhana. []
Jagalan 050716
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H