Dalam sisi gelap itu kita menemukan diri sebagai orang yang latah: sebuah fakta hilangnya kemandirian dan kedaulatan. Namun, kita pun masih menghibur diri bahwa yang latah itu sedang mengikuti trend setter. Ungkapan kriminalisasi yang berawal dari kasuk KPK beberapa tahun lalu, tanpa perlu mempelajari pengertian, makna, dimensi, nuansa, fakta hukum – kini menjadi ungkapan untuk menilai peristiwa pendidikan adalah bentuk kelatahan yang nyata.
Kita menjadi korban tipu muslihat – akibat tidak berdaulat dalam proses dan cara berpikir – yang menyangkut pendidikan, sekolah, belajar, tata nilai keluarga, peran dan fungsi orangtua. Ironisnya, di tengah ketidaksadaran diri menjadi konsumen bagi produk berpikir yang mengikis orisinalitas itu, kita menjadi agen bagi mata rantai konsumen lainnya.
Akibatnya, alur, langkah, sikap berpikir, dan efek tindakan kita atas setiap persoalan sangat mudah ditebak, dan karena itu menjadi sangat mudah dikendalikan.
Maka, ketika anak-anak ngaji melontarkan istilah bukpuber untuk menyebut buka puasa bersama, saya senang dan bangga bukan main. Di tengah “hegemoni” penggunaan istilah bukber, mereka berhasil membebaskan dirinya dari kecenderungan arus utama, dengan menciptakan istilah baru, yang menurut saya mencerminkan orisinalitas, dan itu layak dihargai.
Akhirnya, bukpuber itu pun berhasil diselenggarakan dalam suasana ceria dan gayeng dengan menu yang sederhana. []
Jagalan 050716
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI