Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Aku Mengenang, Karena Itu Aku Hidup

3 Juli 2016   22:01 Diperbarui: 3 Juli 2016   23:02 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masa Kecil | Sumber: mymodernmet.com

Mudik bukan cuma perjalanan pulang kampung. Bukan hanya berlelah-lelah sepanjang perjalanan. Bukan pula laporan tahunan kepada sanak saudara bahwa di kota kita sudah menjadi orang.

Lebih dari semua itu, perjalanan mudik adalah kebutuhan hidup manusia. Di kota kita memang berhasil menjadi orang. Namun, apakah kesuksesan itu menjadikan kita sebagai manusia? Perjalanan mudik akan menjawabnya.

Mudik Eksistensi

Seorang sahabat menanggapi tulisan Hari Pertama Sekolah, Saya Kembali Menjadi Manusia, dengan pertanyaan, “Selama ini kamu menjadi apa? Memang kamu bukan manusia?”

Persoalannya bukan pada bentuk fisik saya. Jelas, siapapun yang bertemu atau berpapasan dengan saya pasti mengatakan saya manusia. Namun kemanusiaan seseorang tidaklah terutama ditentukan oleh dimensi jasadi. Ukuran-ukuran non-jasadi yang tak kasat mata adalah parameter yang menentukan seseorang berkualitas atau bahkan layak disebut manusia atau bukan.

Apa hubungan semua itu dengan konteks kebutuhan mudik? Kita sepakat, mudik bisa menjebak kita pada aktivitas yang hanya berkutat untuk memenuhi nafsu keinginan. Gaya hidup eksesif yang dipanglimai semangat konsumerisme kerap melenakan makna hakiki mudik. Melaporkan kesuksesan hidup sebagai kaum urban, dengan simbol-simbol artifisial khas gaya hidup modern, ditampilkan secara dominan.

Padahal, di saat yang sama, kita sedang terjebak sikap konsumtif. Kita menampilkan gaya hidup yang berkelimpahan di mata orang lain, namun di mata batin sendiri kita merasa selalu berkekurangan. Kesadaran hidup yang belum layak dijalani oleh makhluk Tuhan yang disebut sebagai manusia.

Dan lihatlah, alangkah mudah orang dikerangkeng oleh labeling, ikon-ikon, branding, imaji-imaji, eksistensi semu. Mudik dengan kapasitas sebagai “orang” justru meneguhkan khayalan ekspresi simbolisme. Sukses menjadi ustadz akan menampilkan ikon simbolisme sebagai ustadz. Sukses menjadi pengusaha akan menunjukkan ikon simbolisme sebagai pengusaha. Sukses menjadi artis akan memamerkan ikon simbolisme sebagai artis.

“Sukses menjadi” adalah nafsu eksitensialisme yang didamba hampir semua orang. Dan untuk itulah kaum urban berbondong-bondong, berjejal-jejal, menyesaki pasar peredaran uang. “Sudah jadi orang ya?” adalah ungkapan budaya atas ketakjuban terhadap seseorang yang berhasil mencapai eksistensi dirinya.  

Berhasil meraih eksistensi memerlukan bukti, simbol, ikon, labeling. Mudik menjadi sarana ungkapan budaya bagi beratus-ratus absurditas itu. Mudik yang semula mengusung kesadaran nilai hakiki terkontaminasi nafsu eksistensi orang per orang.

Aku Mengenang, Aku Hidup

Energi kemanusiaan mengalir deras untuk memberhalakan materi. Manusia menjadi dan dihargai sekedar gumpalan materi. Untuk itu, kita memerlukan romantisme kecil untuk mengembalikan harkat kemanusiaan kita.

Romantisme mengenang masa-masa kecil: di saat kita tidak malu berebut tumpeng di mushola; mencuri buah mangga milik tetangga; menyembunyikan sandal teman; makan nasi liwet beralas daun pisang; menjadi pemenang suara kentut paling keras. Romantisme saat kita tampil begitu telanjang sebagai manusia, hidup secara apa adanya, energi jiwa masih menyala dan bercahaya.

Aku mengenang, karena itu aku hidup, menjadi sarana untuk menghidupkan jati diri. Hidup sebagai manusia yang memanusiakan manusia. Hidup yang aji (bermakna), ngaji (menjadikannya bermakna), ngajeni (menghargai manusia sepenuh makna).

Hikmah terpenting dari mudik adalah merajut kembali keber-makna-an itu di dalam tali persaudaraan dan persahabatan yang (sempat) terputus akibat digerus arus deras eksistensialisme. Menjalin kembali komunikasi yang putus akibat mobilitas yang melemparkan harkat kemanusiaan ke pojok ruang sejarah yang aneh. Meneguhkan kembali wajah kemanusiaan yang telah ditutupi topeng-topeng ikon absurd atas nama kesuksesan yang menjadikan hati nurani sebagai korban.

Hidup menjadi lebih “hidup” berkat kesanggupan kita merawat kenangan kemanusiaan yang masih bening. Hidup yang benar disadari sebagai mampir ngombe. Hidup di alam kesadaran denotasi. Hidup layaknya manusia hidup: saling toleran, saling menghargai, saling memberdayakan, saling menyayangi.

Kemenangan Kecil yang Bermakna

Kenangan-kenangan yang manusiawi itu apabila disadari dan dihayati adalah kemenangan-kemenangan kecil. Berhasil merontokkan buah mangga milik tetangga, lalu oleh Bapak telinga saya dijewer sepanjang jalan menuju rumah pemilik mangga, disuruh langsung minta maaf kepada empunya mangga, adalah “kemenangan” bagi terbukanya pengertian yang universal.

Momentum kemenangan kecil dibutuhkan untuk meraih kemenangan besar. Yang saya maksud kemenangan besar bukanlah dalam konteks berhasil mengalahkan orang lain. Kesadaran universalnya adalah kita sugih tanpa banda (meraih kekayaan tanpa menumpuk harta benda); nglurug tanpa bala (menyerang tanpa bala pasukan); menang tanpa ngasorake (menang tanpa menghinakan). Kemenangan yang tidak menjadikan harkat kemanusiaan sebagai tumbal. Kemenangan besar berkat kenangan mencuri mangga.

Selamat mudik, Kawan. Selamat mengenangi romantisme masa lalu. Selamat menghayati kemenangan-kemenangan kecil. Selamat meraih kemenangan besar dengan tetap menjadi manusia. []

Jagalan 03072016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun