Energi kemanusiaan mengalir deras untuk memberhalakan materi. Manusia menjadi dan dihargai sekedar gumpalan materi. Untuk itu, kita memerlukan romantisme kecil untuk mengembalikan harkat kemanusiaan kita.
Romantisme mengenang masa-masa kecil: di saat kita tidak malu berebut tumpeng di mushola; mencuri buah mangga milik tetangga; menyembunyikan sandal teman; makan nasi liwet beralas daun pisang; menjadi pemenang suara kentut paling keras. Romantisme saat kita tampil begitu telanjang sebagai manusia, hidup secara apa adanya, energi jiwa masih menyala dan bercahaya.
Aku mengenang, karena itu aku hidup, menjadi sarana untuk menghidupkan jati diri. Hidup sebagai manusia yang memanusiakan manusia. Hidup yang aji (bermakna), ngaji (menjadikannya bermakna), ngajeni (menghargai manusia sepenuh makna).
Hikmah terpenting dari mudik adalah merajut kembali keber-makna-an itu di dalam tali persaudaraan dan persahabatan yang (sempat) terputus akibat digerus arus deras eksistensialisme. Menjalin kembali komunikasi yang putus akibat mobilitas yang melemparkan harkat kemanusiaan ke pojok ruang sejarah yang aneh. Meneguhkan kembali wajah kemanusiaan yang telah ditutupi topeng-topeng ikon absurd atas nama kesuksesan yang menjadikan hati nurani sebagai korban.
Hidup menjadi lebih “hidup” berkat kesanggupan kita merawat kenangan kemanusiaan yang masih bening. Hidup yang benar disadari sebagai mampir ngombe. Hidup di alam kesadaran denotasi. Hidup layaknya manusia hidup: saling toleran, saling menghargai, saling memberdayakan, saling menyayangi.
Kemenangan Kecil yang Bermakna
Kenangan-kenangan yang manusiawi itu apabila disadari dan dihayati adalah kemenangan-kemenangan kecil. Berhasil merontokkan buah mangga milik tetangga, lalu oleh Bapak telinga saya dijewer sepanjang jalan menuju rumah pemilik mangga, disuruh langsung minta maaf kepada empunya mangga, adalah “kemenangan” bagi terbukanya pengertian yang universal.
Momentum kemenangan kecil dibutuhkan untuk meraih kemenangan besar. Yang saya maksud kemenangan besar bukanlah dalam konteks berhasil mengalahkan orang lain. Kesadaran universalnya adalah kita sugih tanpa banda (meraih kekayaan tanpa menumpuk harta benda); nglurug tanpa bala (menyerang tanpa bala pasukan); menang tanpa ngasorake (menang tanpa menghinakan). Kemenangan yang tidak menjadikan harkat kemanusiaan sebagai tumbal. Kemenangan besar berkat kenangan mencuri mangga.
Selamat mudik, Kawan. Selamat mengenangi romantisme masa lalu. Selamat menghayati kemenangan-kemenangan kecil. Selamat meraih kemenangan besar dengan tetap menjadi manusia. []
Jagalan 03072016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H