Para guru dan siswa bernyanyi, bertepuk tangan, dengan diselingi cerita-cerita pendek. Menyaksikan kegiatan belajar itu saya tidak perlu masuk ke dalam ruang kelas. Apa sebab? “Tembok” ruang kelas mereka berupa anyaman kawat. Angin segar perbukitan leluasa menerobos. Saya pun dapat menatap kegiatan mereka dengan duduk bersandar di bawah pohon.
“Family Gathering” Model Sekolah Dusun
Kegiatan bernyanyi, bertepuk tangan, dan bercerita itu tidak berlangsung lama. Semua siswa dan ibu-ibu yang menunggu anaknya belajar akan pindah lokasi. Mereka akan melanjutkan kegiatan hari pertama sekolah di pantai Bajulmati. Truk tua sudah menunggu di bawah. Anak-anak berbaris lalu beriringan menuju truk. Mereka digendong Pak Izar satu persatu, naik ke atas truk.
Dua belas bocah sudah naik di atas truk lalu disusul para ibu. Truk terguncang-guncang, melewati jalanan berbatu. Sebuah sensasi tersendiri: naik truk terbuka, badan berguncang, diterpa angin, melewati kiri kanan hutan dan rawa. Dan lihatlah anak-anak dusun itu, mereka ceria dan riang gembira.
Di pantai Bajulmati sudah berkumpul siswa TK Goa Cina bersama orangtuanya. TK Goa Cina merupakan TK “cabang” yang dikelola Lembaga Pendidikan Harapan. Bergabunglah dua TK dari dusun yang berbeda. Di pantai Bajulmati bocah-bocah itu tidak memerlukan waktu cukup lama untuk berakrab ria, apalagi para ibu. Para siswa baru itu seakan sudah menjadi keluarga besar. Model keakraban dan keguyuban yang jarang dijumpai di kota.
Maka, dimulailah kegiatan outbond sederhana, dengan peralatan sederhana, dengan konsumsi sederhana. Di pasir pantai Bajulmati yang lembut bocah-bocah dusun melepas alas kakinya. Saya tidak menyebut sepatu karena tidak sedikit yang menggunakan sandal.
Mohon tidak mengadili orangtua mereka tidak disiplin, membiarkan anaknya ke sekolah memakai sandal. Ini bukan soal sandal atau sepatu. TK Harapan Bajulmati dan TK Goa Cina adalah sekolah rakyat. Niat dan kesungguhan belajar paling utama. Jangankan bersepatu, TK dusun ini sendiri berdiri berkat wadah komunitas warga, tentu dengan fasilitas belajar apa adanya.
“Kami belajar dan mengajar secara apa adanya,” papar Mahbub Junaidi, “bukan karena ada apanya.” Paham kan maksud kalimat ada apanya? Sikap pengabdian para guru bukan terutama suatu hari akan diangkat menjadi pegawai negeri sipil. Lalu mengajukan mutasi agar dipindah ke daerah yang lebih layak. Mereka menjadi guru karena hati nurani mereka memanggilnya. Jika bukan mereka yang peduli dengan pendidikan bocah dusun, harus kepada siapa mereka berharap?