Karena selalu terkait dengan nasib masa depan anak bangsa, visi pendidikan akan menjadi persoalan krusial yang tak habis dibincangkan. Persoalan visi pendidikan hadir menjadi tema diskusi bukan lantaran buruknya gambaran masa depan yang hendak dicapai.Â
Kesenjangan antara fakta ke-kini-an dengan cita masa depan yang tergambar dalam visi pendidikan, apabila kita jujur dan obyektif, dipicu oleh getting lost. Terlalu banyak rombongan yang lelah lalu mengambil rute perjalanan sendiri.
Sementara itu, adakah perjalanan jauh melebihi lelahnya meraih visi sebuah pendidikan? Anis Baswedan mengibaratkan seperti mengendalikan arah kapal tanker. Mengubah arah atau visi pendidikan tidak semudah mengemudikan sampan. Tak heran pendidikan di negeri ini masih berkutat pada persoalan visi pendidikan dan cara meraihnya.
Berbagai upaya untuk mewujudkan visi pendidikan ditempuh oleh sekolah, salah satunya dengan membentuk paguyuban orangtua. Rendahnya keterlibatan dan partisipasi orangtua di sekolah menguatkan tekad kepala sekolah dan guru akan pentingnya paguyuban ini. Mayoritas orangtua murid, 74 persen, mengaku tidak mengetahui pola pelajaran atau kurikulum yang diterapkan sekolah. (print.kompas.com)
Bagai jamur di musim hujan, paguyuban orangtua di sekolah bermunculan. Misi yang diemban oleh hadirnya paguyuban orangtua menepis anggapan miring hubungan tidak harmonis antara sekolah dan keluarga.Â
Lama terpisah oleh egoisme visi pendidikannya masing-masing, sekolah dan keluarga bertemu malu-malu dan agak canggung. Kegagapan komunikasi antar keduanya kerap mewarnai penyamaan persepsi bagaimana sekolah menyelenggarakan pendidikan yang manusiawi.
Beberapa kali saya diminta tolong untuk mencairkan hubungan itu. Ganjalan psikologis yang kerap terjadi adalah pihak sekolah telah berupaya memberikan layanan pendidikan semaksimal mungkin, sementara pihak orangtua menilai sekolah belum memberikan layanan sesuai standar mereka.Â
Standar layanan bagaimana yang dimaksud oleh kedua belah pihak? Jawabnya bisa sangat panjang dan pelik. Saling adu kebenaran tidak menyelesaikan masalah.
Saya tidak akan mengurai detail standar layanan itu. Kita langsung menuju akar penyebabnya. Apa itu? Visi sekolah dengan visi orangtua (keluarga) belum seiring sejalan, sehingga tujuan akhir pendidikan bukan hanya terdapat kesenjangan, bahkan berbeda arah. Ibaratnya, sekolah berangkat ke Jakarta, orangtua berangkat ke Surabaya. Yang bingung siswa atau anak yang menjadi obyeknya.
Hemat saya, menyamakan visi pendidikan adalah pekerjaan pertama yang harus dituntaskan oleh sekolah dan paguyuban orangtua. Paguyuban bisa menjadi wadah untuk mem-break down visi, misi, dan tujuan pendidikan, sehingga getting lost tidak terjadi. Paguyuban orangtua biasanya dibentuk per jenjang kelas sehingga memudahkan pihak sekolah menciptakan clearity. Jelas apa yang hendak dicapai oleh aspek kogntif, afektif, dan psikomotorik.
Paguyuban juga menjadi wadah pendidikan bagi orangtua. Dengan kerja sama yang harmonis sekolah dan orangtua saling mengedukasi, saling berbagi ilmu dan pengalaman, saling mencerahkan, saling memberdayakan. Keuntungan lainnya adalah karakter positif yang telah diterima siswa di sekolah dilanjutkan dan dipelihara habituasinya oleh orangtua di rumah dengan pendekatan sikap mendidik yang sama.
Bukankah kerap kita menjumpai pola asuh dan pola pendidikan yang tidak sejalan antara keluarga dan sekolah? Paguyuban orangtua yang berjalan efektif akan menghindarkan orangtua dari pola asuh yang tidak sejalan dengan pola pendidikan. Nafsu orientasi pasar yang menjebak sekolah dan orangtua pun terselesaikan oleh clearity visi, misi, tujuan pendidikan yang diterima kedua belah pihak.
Mewaspadai Pendidikan Berorientasi Pasar
Maka, yang perlu diwaspadai oleh gerakan paguyuban orangtua adalah wadah edukasi partisipatoris ini jangan berubah menjadi sarana untuk mengintimidasi guru dan pihak sekolah. Bagaimana hal itu terjadi? Sekolah yang lemah visi pendidikannya rentan diintimidasi oleh pragmatisme yang dihembuskan orangtua.
Orangtua yang berhimpun dalam paguyuban di sebuah PAUD misalnya, bisa saja menekan pihak pengelola agar mengajari anak mereka materi membaca, menulis, berhitung. Alasannya sangat klasik dan remeh: PAUD dan Taman Kanak-Kanak sebelah siswanya diajari calistung. Seorang guru sekolah dasar pening kepala karena ditekan oleh ketua paguyuban di kelasnya gara-gara pelajaran matematika anaknya mendapat nilai tujuh.
Seorang koordinator kegiatan outbond terpaksa tidur larut malam, menjawab satu persatu pesan WhatsApp para orangtua paguyuban gara-gara spekulasi berita, salah satu anak kakinya terkena duri ketika jelajah malam.
Seorang wali kelas dengan perasaan tertekan menolak secara halus dan sopan permintaan orangtua agar mengganti nilai pelajaran anaknya supaya mencapai rata-rata tujuh sebagai syarat untuk diterima di sekolah unggulan. Â
Makin jelas, siapa pelaku pasar pendidikan itu? Ialah orangtua atau wali murid yang menempatkan dirinya sebagai konsumen, dan tentu saja dilandasi oleh pemikiran bahwa mereka sudah membayar (mahal) biaya pendidikan. Sekolah hanya memiliki satu pilihan: melayani obsesi orangtua.
Paguyuban orangtua yang tidak sejalan dengan visi pendidikan justru menjadi ajang bagi proses pendidikan yang menekan dan menindas. Bukan hanya dirasakan oleh guru, bahkan anak-anak mereka sendiri ditindas oleh obsesi dan pragmatisme orangtua yang kelewat batas.
Sebelum mendirikan paguyuban di sekolah, pertanyaan yang tuntas harus dijawab adalah apakah paguyuban akan menjadi katalisator pendidikan ataukah ajang berkumpulnya mama muda untuk eksis dan narsis? []
Jagalan 29 06 2016
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI