Bukankah kerap kita menjumpai pola asuh dan pola pendidikan yang tidak sejalan antara keluarga dan sekolah? Paguyuban orangtua yang berjalan efektif akan menghindarkan orangtua dari pola asuh yang tidak sejalan dengan pola pendidikan. Nafsu orientasi pasar yang menjebak sekolah dan orangtua pun terselesaikan oleh clearity visi, misi, tujuan pendidikan yang diterima kedua belah pihak.
Mewaspadai Pendidikan Berorientasi Pasar
Maka, yang perlu diwaspadai oleh gerakan paguyuban orangtua adalah wadah edukasi partisipatoris ini jangan berubah menjadi sarana untuk mengintimidasi guru dan pihak sekolah. Bagaimana hal itu terjadi? Sekolah yang lemah visi pendidikannya rentan diintimidasi oleh pragmatisme yang dihembuskan orangtua.
Orangtua yang berhimpun dalam paguyuban di sebuah PAUD misalnya, bisa saja menekan pihak pengelola agar mengajari anak mereka materi membaca, menulis, berhitung. Alasannya sangat klasik dan remeh: PAUD dan Taman Kanak-Kanak sebelah siswanya diajari calistung. Seorang guru sekolah dasar pening kepala karena ditekan oleh ketua paguyuban di kelasnya gara-gara pelajaran matematika anaknya mendapat nilai tujuh.
Seorang koordinator kegiatan outbond terpaksa tidur larut malam, menjawab satu persatu pesan WhatsApp para orangtua paguyuban gara-gara spekulasi berita, salah satu anak kakinya terkena duri ketika jelajah malam.
Seorang wali kelas dengan perasaan tertekan menolak secara halus dan sopan permintaan orangtua agar mengganti nilai pelajaran anaknya supaya mencapai rata-rata tujuh sebagai syarat untuk diterima di sekolah unggulan. Â
Makin jelas, siapa pelaku pasar pendidikan itu? Ialah orangtua atau wali murid yang menempatkan dirinya sebagai konsumen, dan tentu saja dilandasi oleh pemikiran bahwa mereka sudah membayar (mahal) biaya pendidikan. Sekolah hanya memiliki satu pilihan: melayani obsesi orangtua.
Paguyuban orangtua yang tidak sejalan dengan visi pendidikan justru menjadi ajang bagi proses pendidikan yang menekan dan menindas. Bukan hanya dirasakan oleh guru, bahkan anak-anak mereka sendiri ditindas oleh obsesi dan pragmatisme orangtua yang kelewat batas.
Sebelum mendirikan paguyuban di sekolah, pertanyaan yang tuntas harus dijawab adalah apakah paguyuban akan menjadi katalisator pendidikan ataukah ajang berkumpulnya mama muda untuk eksis dan narsis? []
Jagalan 29 06 2016
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI