Setelah mengampanyekan Sekolah Bebas dari Rokok, Kemendikbud mewajibkan sekolah memasang papan informasi tindak kekerasan, yang memuat informasi untuk pelaporan dan permintaan bantuan.
Di kepala saya berjubel pertanyaan. Sudah sedemikian tidak amankah sekolah sehingga lingkungan belajar berubah menjadi seperti ruang publik layaknya pasar dan terminal yang rentan tindak kejahatan? Mengapa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dengan papan informasi sekolah aman, seolah makin menegaskan bahwa sekolah memang tidak aman? Mengapa tidak mengampanyekan, membuat gerakan, memandu, mewujudkan sekolah sebagai taman siswa, sebagaimana yang diidamkan Bapak Menteri?
Atau di tengah maraknya kriminalisasi terhadap aktivitas mengajar bapak-ibu guru, informasi untuk pelaporan dan permintaan bantuan terhadap tindak kekerasan, justru semakin menyudutkan moralitas para pahlawan tanda jasa?
“Nanti ada siswa disenggol gurunya langsung telpon ke Polsek,” seloroh seorang teman.
“Tidak harus lebay begitu,” tukas saya.
“Lebay bagaimana? Selama ini kita latah dan pandai berkata-kata tetapi tidak dipikir artinya. Tidak pernah serius mempelajari kata per kata, istilah per istilah, definisi per definisi. Coba kamu cermati kalimat yang tertulis di papan Kawal Sekolah Aman! ‘Jangan diamkan aksi kekerasan seperti penganiayaan, perundungan, pemerasan, dan tindak kekerasan lainnya, terjadi dan mencemari sekolah kita’.”
“Sekolah harus dilindungi dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab.”
“Bukan itu maksudku. Penggunaan kata kekerasan dan kejahatan tidak pernah serius kita teliti. Penganiayaan, pemerkosaan, pemerasan, pembunuhan itu bukan tindak kekerasan. Itu perbuatan jahat. Aksinya menjadi aksi kejahatan.”
“Kira-kira ya seperti itu maksudnya.”
“Tidak bisa sederhana begitu dong cara berpikirnya. Setiap kata mengandung ruh hakekat, akar makna, nuansa cakrawala, obyektivitas fakta. Tindak kekerasan dengan tindak kejahatan akar katanya sudah sangat jauh. Kita telah diombang-ambingkan oleh makna konotasi.”
Baiklah, saya tidak mempermasalahkan tingkat pendidikan sahabat saya. Namun, ia berhasil membuat saya berpikir ulang tentang misalnya sekolah aman, sekolah layaknya taman bagi para siswanya, sekolah manusia, sampai mengembarai lebih jauh tentang materialisme biaya sekolah yang menjadi gunung es dan sewaktu-waktu bisa menimbun guru.
“Kamu memilih mana,” tanya sahabat saya, “Saya tempeleng atau foto bapakmu saya injak-injak?”
“Demi kehormatan keluarga saya pilih ditempeleng.”
“Foto orang tua kita yang diinjak-injak rasanya lebih menyakitkan daripada tindak kekerasan fisik. Kehormatan keluarga yang disimbolkan oleh foto orang tua adalah harga diri dan martabat kita sebagai manusia. Menyakiti harga diri dan martabat manusia adalah puncak perbuatan jahat. Seorang ayah memukul anaknya karena sang anak lalai mengerjakan shalat lima waktu bukan kejahatan. Menyangkut disiplin seperti mengerjakan shalat lima waktu orangtua harus bersikap keras. Lebih sakit mana dengan ketika sang ayah mengatai anaknya, ‘Hai, pemalas! Cepat shalat!'”
Pikiran saya langsung menerobos ruang-ruang kelas pembelajaran. Kejahatan verbal yang menyinggung harga diri anak seperti, “Kamu kok makin bodoh; Pertanyaan mudah begini kamu tidak bisa menjawab. Dasar otak udang! Kalau kamu tidak bisa diatur, pergi saja ke laut!” –semua itu, menurut saya adalah perbuatan jahat yang melukai harkat nurani siswa sebagai manusia.
Atau perbuatan jahat tidak selalu diungkapkan secara verbal. Sesekali waktu, tengok dan rasakan getaran dan nuansa komunikasi, nada psikologi bapak-ibu guru yang sedang berkomunikasi dengan siswa. Pasang juga kepekaan sosial-emosi. Akan kita rasakan pisau yang mencabik harkat nurani siswa.
Luka mental yang dicederai tidak menutup kemungkinan menjadi luka abadi, sepanjang hidup, dikenang dan didekap dalam rasa sakit yang perih.
Sekolah sebagai institusi yang menghadirkan lingkungan belajar, sudahkah aman dan terbebas dari penindasan harga diri siswa? Apakah regulasi dan kebijakannya berkomitmen membela martabat manusia? Atau semakin maraknya sekolah yang dikelola layaknya perusahaan: mampu bayar mahal, silahkan masuk; tidak mampu, maaf, cari sekolah yang lain –apakah tidak mencederai harkat seorang warga negara yang berhak mengenyam pendidikan tanpa diskriminasi?
Mengapa pula penerimaan siswa baru secara terbuka menyebut ada jalur siswa miskin? Duh, Gusti, menjalani hidup miskin beratnya bukan main ternyata masih harus menerima kenyataan untuk dikatakan sebagai keluarga miskin. Tidak seorang pun ingin hidup miskin, tapi tidak adakah istilah, ungkapan, kalimat yang membesarkan hati siswa yang hendak meraih masa depan?
Atas nurani yang dicederai itu, kepada siapa mereka harus menelpon dan melapor? []
Jagalan 23 Juni 2106
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H